Pengakuan

1.3K 218 16
                                    

"Sudah dua minggu dan tidak ada kemajuan untuk kasus ini? Di mana Zea yang kompeten?"

Zea terdiam. Itu telepon dari atasannya. Kuduknya meremang karena suara itu terdengar lebih berat dari yang sudah-sudah. Sarat dengan nada kecewa, seakan menuduh. Membantah pun Zea tidak bisa. Karena pada kenyataannya tidak ada satu pun orang yang bisa diseretnya sebagai tersangka, dan itu sungguh membuatnya frustrasi.

Sampai pada saat telepon diputus pun, Zea masih bergeming. Memandang dirinya di depan cermin yang semakin lama terlihat semakin kusam. Terlintas di benak, apa sebaiknya ia meninggalkan karirnya sebagai detektif? Aura sebagai pemecah masalah, sepertinya sudah hilang, pudar. Dia tidak lagi berbakat.

Kedua bahunya lunglai bersamaan dengan napas yang terhela lelah. Ada yang mempermainkannya di sini. Ada seseorang yang pastinya dengan sengaja menutupi kasus ini.

Sebuah pesan yang masuk ke ponsel, segera menyita perhatian.

Apa kamu sudah menjadi lebih baik, Detektif?

Ternyata dari Chen. Dia begitu perhatian sejak semalam, meminjamkan bahunya dan menemaninya duduk di taman kota. Namun, tetap saja. Tidak ada bantuan apa pun yang bisa didapatnya dari psikolog itu.

Lalu, pertannyaan apakah Zea sudah menjadi lebih baik? Tentu saja tidak. Siapa yang bisa menjadi lebih baik saat karir terlihat mulai meredup, dan percintaan yang rasa-rasanya bakal segera kandas?

Masih juga Zea menatap layar ponsel, belum memutuskan untuk membalas atau tidak pesan yang sampai, tiba-tiba saja ponsel berdering dan nama Chen muncul di layar. Pelan, diletakkannya ponsel ke telinga.

"Ah! Kamu angkat juga!" Ada kelegaan yang terdengar dari suara Chen di seberang sana.

"Uhm," Zea bergumam, "kenapa harus enggak kuangkat?" Tidak bersemangat. Sungguh dia sangat tidak bersemangat.

"Aku pikir kamu sudah membawa pisau dan melakukan pembunuhan." Lalu tawa Chen terdengar berderai di akhir kalimat. "Ternyata, itu hanya ketakutanku saja."

"Hampir. Aku selalu berpikir demikian, kubunuh saja Aeera. Bagaimana?" Datar.

"Jangan berpikir begitu. Datang ke kantorku, aku akan membantumu sebisa yang kumampu."

"Kamu pikir aku bermasalah?"

"Entah. Datang saja dulu."

Tidak lama Chen kembali mengirim pesan berisi alamat kantornya. Dan Zea benar-benar mendatangi tempat yang dimaksud. Berdiri di depan pintu sebuah apartemen.

Namun, penasaran yang lain menggelitiknya. Dibukanya ponsel dan membuka sebuah aplikasi. Di sana sebuah maps terbuka, ada titik merah yang berkedip. Nama Dipa terlihat ada di sana, diperbesarnya tampilan pada layar dan menghela napas lega. Dipa terlihat berada di restorannya.

Cepat dimasukkannya kembali ponsel ke dalam ransel yang selalu menemaninya ke mana pun. Kembali menatap pintu di hadapannya dengan ragu. Apakah dia harus mengetuk pintu dan masuk?

Belum juga Zea mengetuk pintu, benda itu sudah terlebih dulu terbuka. Chen muncul dari baliknya seraya tersenyum, Zea membalas senyum itu dengan tidak bersemangat.

Masuk ke dalam ruangan, sedikit banyak Zea merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Apartemennya terlihat mewah dan berkelas. Sebuah sofa nyaman berwarna cokelat muda dengan bantal kecil bergaris yang cocok, segera menyambutnya. Meja marmer yang rendah di tengah ruang, dengan tumpukan buku di atasnya, dan beberapa lilin aromaterapi yang sengaja dibakar. Aroma lavender yang menenangkan tercium memanjakan penciuman.

 Aroma lavender yang menenangkan tercium memanjakan penciuman

Ops! Esta imagem não segue as nossas directrizes de conteúdo. Para continuares a publicar, por favor, remova-a ou carrega uma imagem diferente.
KEEP SILENT (Completed) - TerbitOnde as histórias ganham vida. Descobre agora