Langka

1.1K 204 66
                                    

Chen terbangun dengan kepala pening luar biasa. Entah bagaimana caranya dia terdampar di dapurnya sendiri, terbaring di lantai, dan tanpa pakaian. Sekali lagi matanya memejam sesaat, sebelum akhirnya bangkit untuk duduk.

Dapur ini sungguh berantakan, botol wine kosong di meja, gelas berkaki tinggi yang yang posisinya tidak berdiri tegak, melainkan teronggok setengah pecah. Plasik-plastik pembungkus makanan ringan yang berhamburan di mana-mana.

Kening Chen mengernyit, bangkit berdiri sembari mengomel sendirian. Dia sama sekali tidak mengingat kalau semalam dia mabuk. Sendirian? Sontak ia menunduk, menjelajahi tubuhnya sendiri yang tidak mengenakan selembar pakaian pun, dan memaki.

Diusapnya wajah dengan kasar, tadinya ia hendak melangkah ke arah kamar tidur untuk mandi dan berpakaian. Namun, ponsel yang teronggok di meja marmer menarik perhatian. Diraihnya ponsel dan memeriksa history panggilan.

Ada dua nomor yang muncul, nomor-nomor yang membuatnya mengernyit.

Nyaris saja ponsel lepas dari tangannya saat tiba-tiba sebuah panggilan masuk, nama Anita segera tertera pada layar. Cepat disentuhnya layar untuk menjawab.

"Ya!" Tanpa disadari suaranya meninggi.

"Chen?"

"Siapa lagi? Memangnya kamu mau menelepon siapa?" Chen menjawab seraya melangkahkan kaki ke arah kamar, menuju kamar mandi di dalam sana.

"Maaf. Habis, biasanya suaramu tidak pernah setinggi barusan."

Chen menghela napas, menyadari kalau dirinya tadi kelewat terkejut sehingga menjawab panggilan dengan cara tidak pantas.

"Maaf," Chen meraih bath robe yang tergantung dibalik pintu kamar mandi, "ada apa?" tanyanya sambil berusaha mengenakan jubah mandi seraya melangkah mendekati ranjang.

"Aku rasa Zea mengetahui sesuatu mengenai seseorang yang mengidap DPR. Entah info dari mana, tapi semalam dia ke rumah sakit, membawa sebuah nama padaku."

Chen yang baru saja berhasil memasukkan sepasang tangan pada bath robe-nya, mendadak terdiam.

"Chen?"

"Apa benar ada orang seperti itu di negara kita?"

"Memangnya kamu tidak tau?"

"Kenapa aku harus tau?"

Tawa Anita bergema di ujung telepon, membuat telinga Chen sakit. Diletakkannya ponsel di antara telinga dan bahu, sementara tangannya berusaha mengikat tali di pinggang.

"Lucu?" Chen sambil mendudukkan diri di pinggir ranjang.

"Maaf." Anita menghentikan tawa. "Bagaimana kabar Puri?"

"Mengapa kamu menanyakannya?"

"Aku hanya khawatir."

Kening Chen mengernyit, kemudian memaki dalam hati. Diputusnya panggilan tanpa pamit. Jantungnya berdentum-dentum, mendadak khawatir akan keselamatan Puri. Bagaimana jika keselamatannya terancam hanya karena Zea mengetahui kalau dia pernah jatuh cinta pada Puri? Sindrom yang dialami Zea bisa saja membuat detektif itu gelap mata.

Cepat dia menyambung panggilan ke Zea.

"Ya?" Suara yang menyahut terdengar seperti orang setengah sadar.

"Kamu belum bangun?"

"Chen? Aku sudah bangun, ada apa?"

"Kata Anita kamu ke rumah sakit semalam? Kenapa enggak ajak aku?"

KEEP SILENT (Completed) - TerbitWhere stories live. Discover now