5. Bukan Perkara Rumit

2K 485 35
                                    

"Kita jadi mampir makan dulu?" Suara Cessa memecah hening yang tercipta.

Dion menggumam. Sepertinya ada yang salah sejak ia tiba di parkiran kantor Barbie. Namun, ia belum paham apa dan di mana letak kesalahan itu. Sejak tadi ia memikirkannya hingga mereka berkecimpung bersama kemacetan. Mentari mulai bersembunyi malu-malu di ufuk barat. Jam pulang kerja dan kemacetan jalanan merupakan hal yang sulit dipisahkan, lantas suntuk seolah mengikat erat.

"Kamu ... sakit gigi?"

Dion berdecak lirih, detik ini ia sedang enggan mendengar banyak pertanyaan dari Cessa. Kenapa? Tidak tahu juga. Ia menatap sekilas perempuan yang sudah menjadi tunangannya itu dan menggeleng pelan.

"Sa, coba naikin suhu AC-nya. Kok dari tadi aku gerah." Dengan satu tangan yang memegang kendali stir mobil, Dion melepas dua kancing atas kemeja.

"Oke."

Perempuan itu melakukan apa yang Dion minta. Aneh. Padahal ketika ia menjemput Cessa, atribut kerjanya masih terasa nyaman-nyaman saja. Sampai sang tunangan mengajaknya menemui Barbie, semua masih terasa baik-baik saja.

"Gimana sama perkara korupsi proyek PLTU?"

Tanpa sengaja Dion berdecak lirih. Ia mencoba meregangkan otot leher, menggerakannya ke kanan dan kiri. Perjalanan mereka selalu diwarnai tawa serta canda yang kerap memenuhi mobil. Namun, sekarang tersisa suara radio yang memberitahu letak titik kemacetan terparah. Biasanya Dion yang memulai semua itu, tapi entah kenapa kali ini ia lebih memilih banyak diam.

"Masih proses."

Dion belum pernah merasa malas bicara panjang lebar dengan Cessa, kecuali malam ini. Bisa dibilang, ia jarang menjawab pertanyaan atau menanggapi kekasihnya sesingkat dengan rekan kerja atau orang lain. Namun, ada apa dengan malam ini? Tidak tahu juga.

"Oh ... terus besok kamu ada jam di pengadilan?"

Dion tahu Cessa meliriknya bersama pertanyaan besar lain yang tersirat di kening perempuan itu.

"Besok enggak ada."

Kalau boleh jujur, saat ini Dion sedang tidak ingin bicara tentang pekerjaannya di kejaksaan agung. Takaran loyalitasnya terhadap profesi sebagai jaksa memang tidak pernah berkurang. Ia hanya sedang malas membahas itu karena membuat suntuk bertambah dua kali lipat.

Ayah dan ibu memberikan kebebasan penuh untuk apa saja yang ingin ia gapai dan jalani. Keluarganya terhitung sangat harmonis. Sang ayah menjabat sebagai sekretaris jenderal di Biro Keuangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara sang ibu merupakan pegawai di Mahkamah Agung bersama Utari Soedarsono.

Meski profesi Dion bersinggungan dengan sang ibu, tak lantas membuatnya melakukan nepotisme hingga berhasil menduduki kursi kejaksaan agung. Semua impian butuh perjuangan dan tantangan versinya masing-masing. Laki-laki itu masih mengingat jelas di mana ia mengambil sumpah jabatan sebagai bagian dari penegak hukum, serta hari pertama menghadiri sidang dengan jubah jaksa. Oleh karena itu, Dion mencintai profesinya.

"Kalau suasana hati kamu kurang nyaman. Kita langsung pulang aja, enggak apa-apa."

Pernyataan Cessa barusan bak guntur membelah langit. Dion akhirnya menepikan mobil, mereka butuh bicara. Ia tak bermaksud melukai Cessa lewat rasa aneh yang bercokol sepanjang perjalanan pulang. Tidak pernah tercetus sedikit pun darinya untuk melakukan hal itu. Lantas ia menatap perempuan itu bersama perasaan serba salah.

Ini mungkin terdengar gila.

Detik ini bukan Cessa yang ia inginkan menemani perjalanannya. Dion lebih menginginkan model bernama Gita Soedarsono yang sedang pergi dengan laki-laki lain. Meski di lain sisi, ia sangat sadar. Cessa adalah tunangannya. Mana mungkin 'kan ia tak menyayangi tunangannya sendiri? Kalau begitu untuk apa mereka mengadakan pertunangan dua bulan lalu? Mereka bukan pasangan Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih yang menikah karena dijodohkan secara paksa.

Kadar Formalin; Cinta Kedaluwarsa ✓Where stories live. Discover now