21. The (Un)Perfect Time

2.3K 475 77
                                    

"Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah."
_Fiersa Besari_

.

"Gimana pendapat lo tentang kasus kematian editor Elang TV di pinggir jalan tol?" Beno bertanya sambil mengangsurkan piring dari pramubakti.

Kawan sejawat yang memiliki kebiasaan mengelap keringat sebelum memasuki ruang pengadilan, menyambangi ruangannya saat jam makan siang. Terkadang mereka pergi makan di food court dekat kantor bersama kawan lain atau senior. Namun hari ini Beno berbagi bekal yang dibawakan Sasha. Satu kotak semur daging dan nasi bertabur bawang goreng.

Dion mengisi piring yang diterimanya dengan separuh nasi serta daging semur dari kotak makan Beno. "Data dari tim forensik, barang bukti, dan keterangan polisi TKP sudah membuktikan bahwa PY melakukan bunuh diri. Iya kan?"

"Iya, jejak CCTV saat dia membeli pisau sudah membantahkan fakta luka sayatan tidak normal yang sempat menjadi praduga bahwa korban dibunuh." Beno mengangguk lamat-lamat lantas menelan kunyahan. "Selain itu jejak media sosial maupun percakapan ponsel. Tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa korban memiliki masalah dengan orang lain."

Dion melirik ponsel di atas meja, tanpa sadar berdecak lirih. Sudah hampir dua hari gadis itu menghilang dari radarnya. Terhitung sejak ia memilih berterus-terang sebagai laki-laki. Sudah mencoba beberapa kali mendatangi, dentingan bel apartemen tak memunculkan tanda-tanda Barbie ada di dalam. Panggilan telepon pun sama saja.

Hari itu Dion belum sempat menjelaskan banyak hal karena memiliki janji di kantor yang pantang untuk ditunda. Mungkin itu yang membuat Barbie menghilang. Kerumitan mereka memang tidak dapat diabaikan. Namun bukan berarti ia akan diam saja jika terbukti diragukan. Sepulang kerja nanti ia berniat menghampiri kantor Barbie. Barang kali gadis itu punya pekerjaan yang membuatnya tidak pulang ke apartemen.

"Tapi bagaimana kalau membeli pisau itu adalah sebuah jebakan yang membuat korban terindikasi seolah-olah mati bunuh diri?"

Kunyahan Beno memelan, sebelah alisnya terangkat. "Maksudnya gimana, Yon?"

"Gue enggak membantah keterangan akurat dari pihak kepolisian. Kita jajaran penegak hukum yang bicara berdasarkan fakta konkret." Pikiran Dion berhasil diarahkan ke kasus yang sedang mereka bicarakan. "Menurut gue, kejanggalan posisi motor dia yang diparkir di depan warung dan jejak darah yang tipis juga enggak bisa diabaikan. Lagi pula, kenapa motornya masih utuh di tempat padahal tim forensik menyatakan dia sudah mati dua hari yang lalu? Sekitar dini hari, Ben."

Dion memberi jeda untuk mengunyah makanan di mulut. Lama-lama Anggita Barbie Soedarsono yang sempat memenuhi pikiran luntur juga karena Beno mencecarnya. "Maling dan begal enggak mungkin enggak tergiur sama motor yang kuncinya masih tersangkut. Sewajarnya kalau memang si motor utuh di depan warung, kenapa juga korban baru ditemukan dua hari kemudian? Harusnya si pemilik warung bertanya-tanya dan enggak perlu waktu sebanyak dua hari untuk menemukan jasad korban."

Kini Beno mengusap dagu bersama dua alis yang bertaut. "Tapi, Yon, kemungkinan adanya Mr. X itu nol besar. Jejaknya terlalu tipis, terlalu bersih. Dan kita enggak bisa membantah pembelian pisau yang korban lakukan. Dia cuma delapan menit masuk toko, bolak-balik di tempat jajaran pisau. Itu sudah menunjukkan kalau dia ke sana memang cuma membeli pisau tanpa ada niatan lain."

"Itu satu fakta di antara banyak fakta ganjil lainnya, Ben. Apa iya seseorang sekelas editor TV swasta terkenal punya pemikiran semacam, 'ah, gue mau mati sepulang kerja di pinggir jalan tol' Yang padahal korban pun enggak memiliki tanda-tanda depresi berat sehingga harus mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Sekali lagi, gue enggak bermaksud membolak-balikkan fakta, ini pendapat gue mengenai sebuah kasus."

Kadar Formalin; Cinta Kedaluwarsa ✓Where stories live. Discover now