26. Siapa Kamu Sebenarnya?

506 71 2
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

"Miss... ini gak jadi nih pulangnya? Saya udah jauh-jauh datang ke Magelang buat jemput Miss."

Setelah kekagetanku tadi, aku segera menyeret Dito dan membawanya masuk ke rumah Resti. Saat ini aku butuh penjelasan tentang serentetan kejadian janggal yang aku saksikan baru saja.

"Jelaskan semuanya, Dito. Jangan ada yang kamu tutup-tutupin."

Melihat wajahku yang serius, perlahan membuat senyum konyol di wajahnya perlahan luntur. Bola matanya bergerak gelisah serta kaki kanan-nya yang mengetuk-ngetuk lantai gugup. Resti yang bergabung dengan kami beserta dua gelas minuman malah terkekeh geli melihat situasi diantara aku dan Dito. Setelah meletakkan kedua gelas, Resti malah mengacak rambut Dito.

"Makanya jujur dari awal, sudah kebongkar gini jadi bingung sendiri 'kan?"

"Kamu juga perlu jelasin sesuatu sama saya."

Resti mengangkat tangannya yang masih memegangi nampan, tanda menyerah. "Saya gak ikut-ikutan loh, Miss. Cuman kasih tahu lowongan kerja sama si Dito aja gak lebih."

Aku melipat tangan di depan dada, "Lalu, bagaimana dengan map yang berisi informasi pribadi tentang saya?"

Resti cengengesan karena satu lagi rahasianya yang berhasil terkuak, "He-he, bonus buat ponakan sebagai hadiah sambutan kerjaan baru."

"Resti!"

"Aku yang minta sama mbak Resti, jadi itu kesalahan aku." sambar Dito dengan cepat.

"Kenapa?" Aku malah mempertanyakannya meski sudah tahu apa jawabannya.

"Karena aku yang mau."

Hampir saja aku melemparkan gelas di hadapanku, "Dito, seriuslah!"

Lalu Resti menengahi, "Mau cerita sendiri apa mbak yang jelasin?" Resti menunggu respon Dito --sama penasarannya denganku. Belum puas aku mengintimidasi, Resti memutuskan untuk berdiri. "Ya kalau mau kamu yang ngomong maka jelasin sekarang juga. Kamu gak bisa ngelak lagi, To."

Selepas kepergian Resti, Dito masih saja menutup mulutnya rapat-rapat. Tangan yang berada dipangkuannya masih terus bergerak gelisah. Aku membuang nafas terlalu keras --bukti kejengahanku-- dan itu membuat Dito mengangkat wajahnya dengan curiga.

"Bagaimana saya mau percaya dan memberikan hati saya sepenuhnya kalau kamu masih main rahasia-rahasian begini?" Padahal baru saja semalam, aku sudah memantapkan niat untuk mempertemukan Dito dengan kedua orang tuaku. Kalau sudah begini, rasanya aku harus berpikir dua kali.

"Aku takut, kalau kamu nanti tahu tentang aku yang sesungguhnya kamu akan pergi."

"Memangnya kamu gembong narkoba? Atau mucikari artis kenamaan?"

Wajah Dito mengeras, mungkin tak suka dengan lelucon payahku. Dito nampak menelan ludahnya kasar. "Kamu masih ingat alasan aku yang ingin kerja di GP?"

Aku mencoba menarik ingatan di masa interview itu. Sepenggal kalimat soal pekerjaaan Dito yang sebelumnya, tentang kekangan orang tuanya dan selebihnya samar-samar kini memenuhi kepalaku. Aku mengangguk singkat sebagai balasannya.

"Kamu pernah bertanya-tanya gak kenapa aku gak pernah bertahan lama di sebuah perusahaan? Itu karena campur tangan kedua orang tua-ku. Mereka membiarkan aku bekerja di tempat lain untuk sementara agar nanti aku bisa mengambil alih perusahaan mereka."

"Tu-tunggu dulu, perusahaan katamu?"

Dito mengangguk disertai senyum ironi, "Jayakarsa Property."

Apa?! Ja-jayakarsa?! Bukankah itu perusahaan yang bergerak di bidang properti? Itu bukan perusahaan kecil, dan skala bisnisnya sudah sampai internasional. Astaga... jadi selama ini aku berpacaran dengan anak konglomerat dan aku tak pernah menyadarinya?!

Aku benar-benar kehilangan kata-kataku dan membiarkan Dito melanjutkan ceritanya. "Aku benar-benar tidak ingin meneruskan perusahaan itu, makanya aku selalu berulah di setiap tempat kerja. Dan kemurkaan mereka semakin menjadi-jadi saat tahu aku kerja di Grandmedia."

Anak orang kaya dan segala kekonyolannya. Aku hanya bergumam masam tak jelas --dalam benak tentunya, masih pusing dengan informasi baru yang membuat otak-ku malfungsi.

"Tari... katakan sesuatu." pinta Dito dengan nelangsa. Tapi bagaimana pun aku coba, tidak ada suara sedikit pun yang keluar dari mulutku. Bibirku terbuka tapi tak ada suara yang keluar.

Sekarang orang-orang akan men-cap-ku sebagai perawan tua pengeruk harta keluarga sultan. Mereka pasti bisa menebak alasan apa yang membuatku memilih Dito --pegawai biasa saja daripada pak Bima --pemilik perusahaan penerbitan kalau sudah mengetahui latar belakang Dito Maulana Fariz yang sesungguhnya. Aku mengusap dada membayangkan serangan hujatan gelombang dua. Belum-belum, hal ini sudah membuat kepalaku pusing.

"Kenapa kamu tidak pernah cerita sebelumnya?"

Mata Dito semakin memelaskan, "Aku sudah bisa menebak reaksi buruk kamu. Jadi aku menunda--"

"Sampai kapan kamu mau menundanya?! Kamu sengaja ya mau membodohi dan mempermainkan saya?!"

"Tari, mana pernah aku berpikiran begitu."

"Lalu kenapa kamu sembunyiin terus?"

Dito tergagap, "Ka-karena... aku gak mau kehilangan kamu."

Aku mengurut pangkal hidungku sambil menghela nafas yang berat. Aku benar-benar kehilangan kata-kata dan tak sanggup menatap Dito. Karena apa? Karena sekarang ada jurang pembatas yang jomplang diantara kami. Aku yang bagai upik abu tiba-tiba menjadi kekasih anak konglomerat bagai sebuah cerita di FTV saja. Kepalaku pening memikirkan keanehan di hidupku.

Bahkan aku tak sadar saat Dito berjongkok di hadapanku. Hanya ketika tangannya yang meraih tanganku lah baru aku tersadar. Matanya nampak mengisyaratkan kesedihan yang mendalam, ada sorot putus asa yang membuat hati mengiba.

"Maafin aku... maafin aku Tari."

Aku tak menjawab, terlalu bingung harus berkata apa. Dan sepertinya mataku menggantikan tugas untuk menyampaikan apa yang tidak bisa terucap oleh bibir. Dito semakin tak nyaman dalam posisinya serta dengan diamnya aku.

"Katakan sesuatu... aku mohon."

"Dito-- saya... benar-benar bingung harus berkata apa."

Dito mengangguk pilu, "Aku paham. Tapi, meski kamu udah tahu siapa aku yang sesungguhnya kumohon... jangan tinggalin aku. Aku lebih senang membuang semua kekayaan orang tuaku daripada kehilangan kamu. Jadi, please... stay with me, hm?"

Aneh... Dito memang bocah aneh!

"Ki-kita pulang." putusku sambil berdiri. Dito hanya melongo melihatku berdiri menjulang di hadapannya.

"Tari--"

"Saya sedang dalam kondisi tidak bisa berpikir jernih. Saya butuh waktu untuk memikirkannya."

Kemudian sekonyong-konyong Dito meraup tanganku dan membelainya lembut penuh kehati-hatian. "Oke, aku bakal kasih kamu apapun yang kamu mau. Tapi, jika kamu minta putus jangan harap aku akan mewujudkannya."

Aku hanya membuang muka tak sanggup menatap kesungguhan di mata Dito. Aku takut luluh dan memasrahkan diri ke pelukan Dito tanpa memikirkan dan merenungkan resiko atas pilihan itu.

Awalnya kupikir kisah cintaku dengan Dito akan seringan hubungan orang-orang sederhana lainnya tanpa dibumbui oleh kekuasaan dan kasta. Apa benar harus sampai sejauh ini hubunganku dengan Dito? Aku takut akan ada konflik penolakan keluarga besar yang menolak-ku keras karena aku hanya golongan rakyat jelata.

"Pemikiran buruk yang ada di kepalamu itu tidak akan pernah terjadi, percayalah... aku akan selalu melindungi kamu."

Dan aku tak bisa menolak saat Dito menarik-ku dalam pelukan hangatnya.

.
.
.

It's Starts From Fortune Cookies [Completed]Where stories live. Discover now