⭕Reval nggak peka⭕

351 36 2
                                    

  'Ciitt!

  Parah emang ini anak, masa, mau parkir aja sok gaya bener mau nurutin pembalap liar kayak Rossi. Untung, tangan gue masih pegang ujung jok motor.

  Miris.

  Kalau orang-orang biasanya si cewek meluk pinggang cowoknya. Lah, ini, boro-boro mau meluk pinggangnya, dianya aja ogah gue sentuh. Beda kalau sama Meli, malahan dianya sendiri yang nyuruh buat pegangan di pinggangnya, katanya, supaya nggak jatuh. Terus apa kabar dengan gue? Dianya aja nggak peduli! Sialan!

  "Anjir! Untung gue masih pegangan!" Jari tengah terangkat di depan mukanya yang masih tertutup helm hitam. Tapi, kok, dia biasa saja, ya? Biasanya kalau digituin, dia langsung menempeleng kepala gue.

  Gue turun dari motornya, lalu menatap Reval yang pandangannya menghadap ke depan. Emang di depan ada apaan, ya? Apa ada harta karun? Karena bingung, gue menoleh ke mana pandangan Reval yang jatuh ke ...Meli! Salah satu cewek cantik di sekolahan ini, tapi lebih cantikkan gue.

  Pantas aja gue enggak di hiraukan, tau-taunya ada Meli di sana lagi jalan. Entahlah, dianya kayak bawa buku paket gitu, emang sih, tuh anak pinter abis. Kalau dibandingin sama gue, layaknya bumi sama langit.

  "Eh, kok gue di tinggalin?!"

  Gue baru sadar karib gue udah ada di samping Meli, perasaan tadi dianya masih ada di sini. Apa dia cenayang? Oh my god! Tanpa ba bi bu, gue berlari menuju ke mereka berdua.

  "Hosh hosh hosh!"

  Penat juga sih, sampe keringetan gue jadinya, padahal berat tubuh gue ringan aja, mungkin efek pakai sepatu kali.

  Sepatu : Lah ngapa aku pula yang di salahin? Tanpa aku, kakimu itu jadi tempat tai ayam.

  "Eh, lo ini, ya, asal ninggalin gue aja!" cerocos gue sembari menunjuk wajah Reval, kesel banget ih!

  "Hai Zeze, selamat pagi," sapa Meli Ramah.

  Waduh, senyumnya itu lho, hampir ngalahin manisnya gula. Ingat, HAMPIR. Gue yang cewek aja hampir terpesona, pantesan, para cowok banyak yang deketin dia. Selain cakep dia ini juga ramah, murah senyum pula. Beda halnya sama gue, nggak ada cowok yang mau deketin gue, sungguh menyedihkan. Tapi, gue sih ber-oh ria aja kali, banyak kok pacar gue di dunia Wattpad, ganteng-ganteng lagi. Salah satunya Bright, cast sejuta umat Wattpad.

  "Pagi," balas gue dengan senyum yang di paksa 'kan. Perlu di beri tanda garis bawahi "Paksa".

  "Tuh, baik banget bukan si Meli? Udah cantik, ramah lagi. Nggak kayak lo, kayak Dugong!"

  Terus, terus aja bedain gue sama itu cewek, sampai lo puas sampai ke ubun-ubun. "Gue Zeze bukan Dugong, dasar Monyet!"

  "Em, kalian udah belajar MTK, belum?" tanya Meli mengalihkan topik pembicaraan yang absurd. He he, arti absurd apaan? Gue nemu kata itu di Wattpad, tapi artinya nggak tau. Eit tunggu, ulangan? Hah, bicara apaan, dah?

  "Hah, yang benar lo?" tanya gue yang diangguki Meli.

  "Kok gue nggak tahu, sih? Kapan emangnya di kasih tahunya?" Meli memasang wajah heran ke gue. Apaan ya, di sini gue pelupa atau bagaimana sih? Serius deh, gue nggak tahu. Apalagi yang ngajarin MTK itu pak Topan.

  Ngeri cok! Pak Topan itu spesies langka yang gue jumpai di dunia ini. Ijin ke tandas aja pake waktu 15 detik, kalau lewat daripada itu, pulangnya di suruh buat menyapu halaman sekolah yang besar banget. Gue jadi ngeri.

  "Lho, bukannya Reval ngasih tahu, lo?"

  Kemarin itu gue ijin nggak masuk sekolah karena demam. Demam cinta yang ada! Gue melirik ke arah Reval yang menggaruk lehernya.

  "Oh, jadi lo sengaja nggak kasih tau gue, hah?! Heh, Monyet, lo tau sendiri 'kan otak gue pas-pasan kalau nyangkut soal pelajaran, apalagi mapel Matematika!" Nafas gue menggebu-gebu. Asal kalian tau mapel hitung-menghitung itu salah satu mapel yang paling gue benci.

  Reval menoleh ke arah gue sebentar, bukannya minta maaf malah nyengir gak jelas. "Sorry gue lupa," ucapnya, tanpa ada rasa bersalah.

  "Mudah banget, ya, lo ngomong gitu. Di saat lo ijin libur sekolah karena sakit terus ada soal harian. Siapa yang jawabkan? Gue tau, nggak! Dengan gobloknya gue mau aja ngerjain soal lo sampai tengah malam. Tapi, lo aja nggak peka sama gue. Di saat gue sakit aja lo gak nengok! Situ sahabat atau kambing milik Pak Kemed?" hardik gue muncrat-muncratan.

  Akhir-akhir ini gue itu sensitif banget tau nggak, apalagi sekarang gue lagi PMS. Ingin rasanya gue melampiaskan ini dengan membakar sekolahan. Dengan perasaan kecewa, gue berlari meninggalkan mereka berdua. Si Meli teriak-teriak nama gue yang keren ini, tapi gue abaikan.

***

  Baru aja gue memasukkan kaki ke kelas, sobat-sobat cowok laknat gue udah main ambil lempar aja tas gue.

  "Tangkap, Vin!"

  Tas gue beralih lagi dari Pandu ke Vino. Posisi gue sekarang yaitu ada di lingkaran mereka bertiga, siapa lagi kalau bukan Pandu, William, sama Vino. Mereka ini sudah jadi sahabat gue dari SMP, andai kalian tau punya sahabat cowok itu enak bener, tapi terkadang nyebelin sampai ke Samudra Hindia.

  "Will, tangkap!"

  'Hap!

  "Kembalikan tas gue, ogeb?!"

  "Ambil aja sendiri!" Willi menepuk-nepuk pantatnya.
Ada yang liat jarum? Gue mau nusuk lubang pantatnya itu.

  "Gue bi," ucap gue terpotong karena muncul suara menggelegar milik Pak Topan. Di belakang Pak Topan ada Meli sama Reval lagi pegangin lembar ulangan mungkin. Mereka aja sempat-sempatnya ketawa. Tanpa mempedulikan perasaan gue, apalagi Reval! Dia itu seperti biasa saja. Sakit atuh, Bang.

  "Letakkan tasnya ke depan sekarang. 1 2 3----"

  Dasar Bapak-Bapak perhitungan amat sih. Gue pasrah aja deh, berapapun nilainya gue terima dengan lapang dada. Dengan percaya diri gue mendirikan badan, dan sedikit melangkah ke depan. Lalu gue berhenti sebentar karena gue agak takut kalau ketahuan Pak Topan gak belajar. Bisa di jadiin usus goreng gue, eh? Kayak di film Putri Untuk Pangeran aja. Btw, itu film bikin jiwa kejombloan gue meronta-ronta.

  "Auuww ...!"

  Eh? Punggung gue seperti ada yang nabrak. Sontak aja gue menoleh ke belakang, dan ternyata, oh, ternyata.
Baru aja gue mau nolongin Meli yang jatuh karena gue, si Reval udah duluan dari pada gue.

  "Mel, lo nggak papa? Atau ke uks?"

  Gitu aja mau di bawa ke UKS.

  Alay!

  Gue yang jatuh dari tiang listrik aja biasa aja. Ya biasa aja, tapi rambut gue kejang-kejang ke atas. Meli hanya menggelengkan kepalanya, mata Reval menatap tajam ke arah gue setajam pisau yang baru di asah.

  "Ze, hati-hati dong, lo gimana, sih?!"

  "Dia juga yang salah, ngapa jadi gue yang di salahin?!" balas gue memburu.

  "Kalau jalan itu jangan setengah-setengah!"

  "EH KALIAN! CEPAT KEMBALI KE TEMPAT DUDUK!"

  Dengan perasaan dongkol, gue kembali duduk setelah meletakkan tas ke depan. "Mel maaf," ucap gue, berlagak sok setulus mungkin.

  "Iya nggak papa kok,"

  'Iyi nggik pipi kik,' batin gue. Lo yang salah Meli, lebay banget sih lo jadi cewek. Ih gereget-nya, pengen gue cakar mukanya itu.

T B C
Jangan sider ya gengs, ane nulis harus dua kali di part ini. Karena yg draft pertama ke hapus, sad beut :)

Diary Remaja [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang