BAB 4 - PESTA (bagian 1)

120 15 72
                                    

.

.

Purnama bergantung tinggi diatas langit malam yang cerah tanpa awan, menjadi penerangan gemilang di malam-malam akhir musim panas. Sang rembulan ditemani oleh beratus bintang kecil yang berkelip, malam ini, sebuah malam yang istimewa.

Mengapa istimewa? Karena malam ini rakyat berduyun-duyun datang ke istana kerajaan, menghadiri pesta terbesar yang pernah diadakan. Mengenakan pakaian terbaik mereka, semua berdatangan ke istana. Semakin larut, semakin ramai.

Jam besar istana berdentang sembilan kali, saat sebuah kereta kencana putih bersepuh emas-emas berkilau tiba di pelataran istana. Ditarik oleh empat ekor kuda putih, sang sais yang adalah seorang pria berjanggut dengan setelan jas rapi serba hitam melompat turun.

Penampilannya amatlah berkelas untuk seorang sais yang menjalankan kereta kuda. (Terlepas dari wajahnya yang seperti orang suram).

Kehadiran kereta itu menarik perhatian banyak orang-orang. Mereka memperhatikan dari jauh sembari berbisik, apakah itu tamu undangan dari kerajaan lain, ataukah seorang kaum borjuis yang tinggi derajatnya. Rakyat yang penasaran agak mendekat, ingin melihat sesiapakah bangsawan yang menaiki kereta itu.

Pintu kereta dibuka oleh sang sais, dan dua orang pria yang juga berbaju serba hitam turun. Pengawal. Yang satu bercambang tebal dengan raut wajah datar, satu lagi yang berambut pirang kecoklatan nampak lebih muda dari keduanya.

Rombongan gadis-gadis bergaun panjang sukses dibuat terpana dengan kehadiran mereka. Terutama pada si pria muda yang merekahkan senyum ramah kearah mereka. Demi Dewa, dia tampan. Salah satu gadis pingsan karenanya.

(Padahal si tokoh utamanya belun turun dari kereta. Ya sudahlah...)

Ketiga pengawal berdiri tegap di samping pintu kereta. Penonton tegang sendiri, menanti entah itu bangsawan tampan atau cantik yang akan keluar dari kereta. Menahan napas, saat si pengawal berwajah suram menyambut tangan di bangsawan, menuntunnya turun dari kereta.

Saat sang tokoh utama akhirnya menampakkan diri dan menjejak turun dari kereta, dunia seolah terhenti dengan dramatisnya untuk sesaat. Halaman istana dipenuhi hening, bahkan jangkrik tak ikut berderik.

.

"Aku tak bisa melakukan ini--"

"Sudahlah, lakukan saja. Lagipula, sihirnya tak akan menghilang sampai pukul 12 tepat--"

"Atau sampai Toru-san jatuh tertidur--dia bilang sendiri bukan, kalau mantra akan hilang jika ia tertidur."

"Ya, begitulah. Bukan begitu, Shohei?"

"..."

"Semoga saja Toru-san tertidur sebelum kita sampai, Ya Tuhan..."

"Tidak bisa begitu, Hiroki."

"PASTI BISA!"

Nobu mengusap telinganya yang berdenging karena teriakan Hiroki barusan, tepat di samping gendang telinga. Ah, jadi manusia itu merepotkan juga. Ia menghela napas, merapikan kerah jasnya dan melirik pada Shohei yang duduk di seberang sana...

"Shohei?" panggil Nobu, pada si anjing yang sekarang berwujud lelaki berambut pirang kecoklatan.

Shohei sedari tadi terdiam dengan wajah konyol, sedikit ternganga dan mata melotot, kearah Hiroki. Sejak sihir Peri Toru merubah sosok si pemuda Moriuchi, Shohei terus-menerus berekspresi seperti itu. Yah... sepertinya, ia memang tak bisa mempercayai wujud sosok Hiroki yang ada di hadapannya sekarang.

TSUNDERELLA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang