BAB 5 - FINALE (bagian 1)

71 14 57
                                    

.

.

Sebahagianya kau hidup dalam mimpi indahmu dan berharap dapat tinggal selamanya disana, pada akhirnya kau harus tetap bangun dan kembali lagi pada dunia nyata.

Saat Hiroki membuka matanya saat subuh karena suara pintu yang diketuk berisik, ia sempat berharap ia terbangun di sebuah ruangan megah yang beratap tinggi ala istana, namun apadaya, ia tetap berada di bawah atap loteng rumahnya yang berdebu. Inilah dunia nyata.

Benar kata Sho, kadang realita itu menyebalkan tapi harus kau mau tak mau harus jalani.

Hiroki beringsut turun dari kamar lotengnya ketika mendengar suara ketukan makin berisik--dan berirama, seperti ketukan pada lagu samba--di pintu utama. Dengan bahu lesu, ia membukakan pintu perlahan-lahan.

Tiga sosok anggota keluarga Morita yang berpakaian jas rapi berdiri di ambang pintu. Hiroki melirik pada jam besar di pojok ruangan, menunjukkan pukul empat pagi. Wow, mereka sungguhan berpesta sampai larut, batin Hiroki.

Sempat terjadi adegan tersangkut di pintu, karena ketiga pria Morita di hadapannya masuk bersama-sama. Lupa kalau pintu rumah mereka itu tidak sebesar pintu istana. Takahiro yang paling mengenaskan, tergencet di tengah-tengah. Wajah Ryota dan Tomoya menempel ke ambang kiri dan kanan pintu. Setelah sedikit dorongan dari Hiroki, akhirnya mereka bisa masuk juga. Kali ini dengan cara menyamping.

"Hah, sialan..." racau Takahiro. Wajahnya memerah karena efek kebanyakan minum alkohol, sepertinya. Tampang bagai berandal acak-acakan. Ia terceguk beberapa kali saat meracau, Hiroki yakin 100% ayahnya ini mabuk. "Pesta semalam... aku tidak berhasil... menggaet siapapun..."

"Sudahlah, ayah." Ryota menghela napas, menahan tubuh Takahiro agar tidak merosot jatuh ke lantai. "Tidak akan ada yang mau berdansa dengan paman bertampang mesum seperti ayah--AW!!"

Hiroki meringis saat melihat Takahiro memukul telak punggung Ryota dengan kekuatan tak berakhlak. Kakak tirinya yang berjanggut itu terkapar mengenaskan di lantai, terguling-guling sambil meratap sakit.

Tomoya yang memegangi lengan kanan Takahiro berjengit ngeri. "Yah, setidaknya..." Ia membuka mulut, mencoba mencairkan suasana, "di pesta tadi, kita bisa makan banyak, bukan? Makanan bangsawan memang enak--aw!!"

Hiroki sudah berjalan mundur kearah tangga, ancang-ancang kabur saat Takahiro menjambak rambut rumput laut Tomoya sambil meracau "dasar tolol!".

Mengunci pintu loteng, Hiroki mendesah lelah saat berjalan menuju jendela kecil di seberang ruangan. Ia membuka kacanya, duduk di lantai dan berpangku dagu.

"Kau kenapa, Hiroki?"

Nobu bertanya, bertengger di bahu Hiroki yang lesu. Burung hantu itu memperhatikan raut wajah pemuda Moriuchi itu--nampak galau segalau-galaunya, bagai orang yang sehabis putus cinta. Eh tunggu, baru saja semalam ia berdansa dengan Pangeran, tak mungkin 'kan--

"Tidak ada apa-apa." Hiroki menjawab pelan. Pandangannya menerawang jauh ke luar jendela. Pada bintang-bintang di angkasa.

Bapak Peri... maksudmu takdir yang berubah itu apa, oi? tanya Hiroki dalam hati. Dalam hati ia berharap, peri dengan tampang mengantuk itu tiba-tiba saja muncul di hadapannya dengan baju pink noraknya... memberi jawaban.

Itu tak mungkin.

Toru sudah menghilang entah kenapa, mungkin kembali ke tempatnya (langit? Istana langit?) pasti sekarang sedang tidur dengan nyenyak di kasurnya.

Hiroki menghela napas sekali lagi.

Bagian sebelah sneakers yang teronggok di bawah kasur terlupakan olehnya.

TSUNDERELLA [COMPLETED]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon