{Enam}✓

405 21 1
                                    

***
.
.
.
.
"Eda, maaf ya... Aku halus pelgi, jadi besok kita gak akan main baleng lagi" ujar si anak kecil kepada Maeda. Kini mereka berdua tengah berada di bukit pohon tempat mereka mengukir nama mereka.

"Tapi aku janji, kita halus balik lagi kesini" janji si anak kecil. Maeda sedari tadi tak bisa menahan tangisnya.

"Jangan nangis telus, nanti aku ikut nangis" Maeda pun mendekap tubuh si anak kecil dengan erat, menggambarkan ia tak rela kehilangan sahabat satu-satunya.
.
.
"JANGAN PERGI!" Teriak Maeda. Ternyata ia hanya bermimpi. Kejadian menyakitkan yang kembali muncul dalam mimpinya. Tak terasa air matanya sudah mengalir banyak.

"Cel...."
.
.
.
.
.
.
"Nek... Mae berangkat dulu ya" pamit Maeda kepada sang nenek. Demam Maeda sudah membaik, tapi ia tetap harus meminum obatnya. Sesuai anjuran dokter.

"Iya, baik-baik kamu nak disekolah" Maeda pun menyalami tangan beliau lalu bergegas keluar rumah. Ketika ia keluar, ia di kagetkan dengan kedatangan Axel.

"Yok bareng" ajak Axel sembari menyodorkan helm kepada Maeda.

"Lu kok jam segini kesini sih? Kan jauh lagi dari rumah lu. Ya... Gue gak enak aja ngerepotin elu terus" kini sifat sadistik Maeda mulai memudar kepada Axel, dengan kata lain dirinya sudah menerima Axel sebagai temannya.

"Gue gak masalah kok, asal yang ngerepotin gue harus lu" dan ya, pagi-pagi wajah Maeda sudah memerah.

"Eh, lu kesekolah gak pernah pake sweater?" Tanya Axel. Maeda hanya menggeleng. Axel lalu bergegas mengeluarkan hoodie miliknya dari dalam tasnya.

"Nih pake, bahaya kalau gak pake, apalagi posisinya lu baru beres sakit" ujar Axel. Maeda menerima hoodie tersebut.

"Terus lu gue udah sembuh darimana coba?" Tanya Maeda.

"Insting" jawab Axel enteng. Akhirnya Maeda memakai hoodie tersebut dan helm nya, dan menaiki motor Axel.

"Udah siap? Pegangan aja kalau ada apa-apa" ujar Axel. Mereka akhirnya pergi menuju sekolah. Selama perjalanan mereka berbincang banyak hal, dan kebetulan hari ini Axel membawa motornya dengan santai. Setiap candaan mereka lontarkan, namun masih ada yang mengganjal di benak Maeda mengenai Axel.

Masa sih.... Benak Maeda.
.
.
.
.
Mereka pun tiba di sekolah, beruntung kali ini mereka datang lebih awal. Axel memarkirkan motornya di parkiran motor, dan setelahnya, Maeda segera turun dari motor dan memberikan helmnya kepada Axel.

"Hoodie nya di pegang lu dulu aja ya, jangan dibuka sampe masuk kelas" perintah Axel.

"Gue mau ke kantin dulu ya, lu kalau mau ke kelas, duluan aja" ujar Maeda.

"Gapapa nih gue tinggal?" tanya Axel memastikan.

"Iya gapapa lah, lagian juga lu kayaknya ngantuk banget kan, mending tidur dulu di kelas" saran Maeda. Memang benar Axel hari ini terlihat kurang tidur. Dikarenakan ia harus bangun lebih awal dari biasanya.

Mereka pun terpisah dari tempat parkir. Sampailah Maeda di kantin, saat ia tengah sibuk memilah makanan. Datanglah seseorang yang sempat hilang di mata Maeda.

"Hai Mae" sapa Deva.

"Oh hai. Gimana ujiannya? Sebelumnya gue mau minta maaf banget karena gak bisa nge bantuin lu full selama seminggu" ujar Maeda sembari membungkukkan badannya.

"Eh gapapa kali, walau cuma beberapa hari tapi gue jadi bisa" elak Deva. Maeda pun akhirnya memilih sebungkus roti dan sebotol air mineral.

"Ini Bi uangnya. Kalau gitu, gue duluan ya kak" pamit Maeda setelah membeli sarapannya. Deva hanya menatap punggung Maeda. Dan pergi kembali menuju kelasnya.
.
.
.
.
"Xel, bangun..." Maeda membangunkan Axel dengan suara yang pelan. Berharap agar guru matematika yang tengah menerangkan nya itu tak sadar.

Alasanku, Maybe? (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang