⭕Masa sih?⭕

175 35 0
                                    

  Salah satu yang ada di pikiran gue saat ini yaitu menghindar sekarang juga. Dari pada lama-lama di sini, baik gue cabut aja, kasian, nih, perut meronta-ronta mau makan. Baru dua langkah gue mau balik,
Meli manggil nama gue.

  "ZE, TUNGGU!"

  Meli sama Reval berlari ke tempat gue. Gue langsung berbalik badan menghadap mereka berdua yang sudah ada di hadapan sekarang.

  "Ze."

  "Apaan?" tanya gue ogah-ogahan, sebetulnya, tuh, batin gue sakit sih ngeliat Reval perhatian banget sama Meli dibanding gue. Tapi masalahnya, ekspresi wajah gue nggak sebanding sama suasana hati. Entahlah, gue juga nggak tau, apa mungkin perasaan gue ke Reval udah berkurang? Masa iya, sih?

  Perlahan, Meli mengangkat wajahnya menatap gue, lalu puppy eyes-nya yang nggak menggemaskan menurut gue itu dia berikan. Gue tau, nih, pasti mau minta sesuatu.

  "Em, gue boleh nggak belajar badminton sama, lo?"

  "Maaf, anda kurang beruntung, silahkan cari orang lain." Gue berucap layaknya resepsionis. Lagian, hati gue masih rada-rada nyesek malah di suruh ngajarin dia, dih!

  "Please Ze, please!"

  "Ikan hiu makan tomat, bodo amat!" Gini, nih, nasib kena sindrom Tik Tok. Dasar ngeneh! Meli malah mencium tangan punggung gue. Hello! Emang gue Mak lo?!

  "Ze, udah iyain aja."

  Kalau Reval ngomong, ya, sudah gue nurut aja, terserah kalian mau ngatain gue penakut atau apalah.

  "Iya-iya, gue mau kok, tapi ada syaratnya nih. Kalau nggak mau, ya, nggak papa sih, tapi lo cari orang lain aja." Gue menyunggingkan senyum, ini namanya mencari kesempatan dalam kesempitan.

  "Syarat-syarat! Udah Mel, nggak usah. Biar gue aja yang ngajarin lo, cewek modelan Dugong kayak Zeze, tuh, nggak cocok ngajarin cewek secantik bidadari seperti elu. " Reval angkat suara sambil melirik gue sinis. Sabar Ze, sabar, jaga image, jaga!

  "Da---" Belum selesai gue mau nyerang, tapi Meli suka banget main potong aja.

  "Udahlah, jangan ribut! Oh, ya, Ze, syaratnya, apa?" Gue melirik Reval yang berdecih karena pertanyaan Meli. Ah, masa bodo.

  "Syaratnya cuma satu, elu kerjain tugas proposal gue, gimana, setuju apa enggak?"

  "Em, iya deh gue mau, jadi kapan mulainya? Apa sekarang aja?" tanya Meli lagi, hobi banget sih nanya melulu.

  Apa tadi katanya, sekarang? Hari ini? Waktu ini? Detik ini? Gue aja dari pagi belum makan, mau buat gue mati, nih, anak.

  "Ntar aja, gue laper. "

  "Bagaimana kalau kita makan bakso di sono noh."

  Reval menunjuk ke arah gerobak yang tulisannya 'Bakso enak! Makin enak bila makanannya sama pacar!' Parahnya lagi ada note-nya.

  Note: Harus ada adegan romantisnya.

  Itu mau jualan bakso atau mau pertunjukkan Opera Van Java, pakai acara adegan romantis segala. Apa kabar dengan kami yang jomblo ini.

  "Kayaknya enak, kita makan itu aja." Meli berlari ke tempat paman gerobak itu tanpa instruksi dulu, dan sekarang Reval malah ngeliatin gue. Aduh, jangan gampang baper Ze, biar hati lo gak gampang hancur kayak wafer nabati.

  Karena gue nggak mau terjebak dalam ombang-ambing cinta. Gue melangkahkan kaki, tapi kerah baju gue di tarik Reval layaknya anak kucing yang di gendong emaknya.

  "Akh, sakit tau nggak!" gerutu gue. Bukannya melepas, Reval langsung nyosor aja narik kepala gue sampai masuk ke keteknya. Bau keteknya itu kok kayak kenal ya. Oh, iya, baunya seperti kapur barus.

Diary Remaja [End]✓Where stories live. Discover now