⭕Karma⭕

193 34 0
                                    

  Pelajaran hari ini sama sekali nggak ada satupun yang nempel di otak gue. Btw, kata Pak Topan tadi bilang seminggu lagi mau ngadain lomba badminton putri antar sekolah. Asal kalian tau, orang yang terpilih buat mewakili sekolah itu gue sama Meli, pantesan aja cewek udik itu minta ajarin main badminton.

  Serius, deh, kenapa jadi harus Meli coba? Dianya aja nggak bisa main begituan, lagian dia itu kena bola basket ke kepala aja langsung pingsan. Okey, soal Rio, ternyata dia itu murid baru pindahan dari SMA GARUDA. Dan sekelas sama gue, pantesan aja baru liat kemaren.

  "Oi Ze, lo mau pesan apa?" tanya Pandu ke gue. Sekarang, kami berenam ada di Restauran siap saji, lumayan di traktir sama Pandu, jarang-jarang lho dia mentraktir kami.

  "Em, boleh, nih, gue milih?" tanya gue basa-basi yang di angguki oleh Pandu. Niat usil gue kambuh, gue pun menepuk tangan untuk memanggil pelayan.

  "Iya, Mbak, mau pesan, apa?" tanya pria yang kira-kira berumur dua puluhan ke atas lah.

  Gue menarik nafas dalam-dalam sebelum berujar. "Daging panggang dua, hotdog tiga, hamburger satu, pizza lima, spaghetti satu, juice mangga satu dan ice thea dua." pesan gue dalam satu kali tarikan nafas.

  Mau tau ekspresi mereka? Apalagi Pandu, mulutnya menganga lebar kayak habis di masukin gas elpiji. Nggak papa lah, Pandu 'kan orang kaya. Saat pelayan itu sudah selesai mencatat pesanan gue, dia mau berbalik badan tapi kembali terhenti karena gue minta satu pesanan lagi. "Oh, ya satu lagi mienya satu."

  "I-ya, Mbak." Pelayan tadi tergagap-gagap seperti habis di cium pacar.

  Gue natapin mereka satu-satu. Diam. Hanya itu yang mereka ekspresikan. Bodo, ah, nggak penting juga buat gue, mereka mau nampilin ekspresi bagaimana.

  "Eh, Ze, emangnya lo habis apa segitu banyaknya pesanan lo?" tanya Pandu dengan ekspresi tak percaya. Biarpun badan gue kurus begini, ini perut bisa muat di masukkin berbagai makanan, termasuk batu. Batu es maksudnya.

  "Iyalah."

  "Okey, soal uang nggak masalah. Tapi, kalau lo nggak habisin makanannya di tempat ini, jangan harap gue mau mentraktir lo lagi." ancam Pandu, tak sedikit pun membuat gue deg-degan.

  Gue cuma menggidikkan kedua bahu gue, toh perut gue juga keroncongan, pasti habis tuh makanan. Ludes!

  "Apa Zeze lagi ngidam anak setan kali ya? BWAHAHAHAHA-----" ledek Vino di selingi tawa jahatnya.

  "Wah jadi om-om dong gue, BWAHAWAHAHA-----" timpal Willi terbahak-bahak, rasanya, pengen gue jitak kepala mereka satu-satu.

  "OI, KALIAN BISA DIEM NGGAK?! KALIAN KETAWA ITU MIRIP MONYET!" Gue menggebrak meja, seperti biasa orang-orang kepo pada ngelirik gue.

  "Ekhem, sudahlah jangan ribut melulu," ujar Meli menengahi perdebatan, dengan terpaksa gue kembali duduk sambil menatap Willi sama Vino bergantian dengan tatapan elang. Tapi bukannya takut, dua anak Dajjal ini malah ketawa-ketiwi.

  "Ini pesanannya."

  Pelayan itu menyajikan berbagai macam makanan yang kami pesan tadi, di sini cuma gue doang yang mesan makanan saking banyaknya, sedangkan mereka cuma satu makanan dan satu minuman. Nggak mikir mereka, padahal ini, nih, kesempatan yang bagus. Karena kita nggak perlu bayar, buat apa malu sama Pandu si monyet ini. Selesai berdoa dalam hati, kami semua melahap makanan itu, lihat saja para kumpulan berudu makan, saking ganasnya, kayak nggak di beri makan berabad-abad tahun. Maksud gue kumpulan berudu itu ya mereka lah.

  "Mel," panggil Reval ke Meli yang ada di sampingnya, spontan aja gue noleh ke mereka berdua.

  'Kretak!

Diary Remaja [End]✓Where stories live. Discover now