17. 2016 - Cocktail

151 48 7
                                    

Mata kami bertemu.

Dia beneran nanya ke gue!

Secara otomatis badan gue berbalik, lalu berjalan satu langkah mendekati Revan. Kemarin kami bersisian, memandang gorengan dan berjarakkan udara. Kini kami saling menghadap, memandang satu sama lain dan berjarakkan nampan.

Gue tersenyum. Perpaduan antara senyum formal, terpaksa, dan canggung. Entah gimana bentuknya gue nggak tahu. Ini spontanitas paling spontan yang pernah gue lakukan. Serius. Gue nggak pernah menyangka Revan akan bertindak sedemikian rupa hingga bisa menjebak gue dalam interaksi dadakan semacam ini.

Gue bingung. Apa, sih, yang ada dipikirannya? Waras nggak dia ini? Nekat! Dia nggak berharap gue bener-bener beli, 'kan?

Tentu. Tentu aja nggak. Revan itu cerdas. Gue tahu dan mengakuinya. Dia nggak mungkin melakukan hal konyol tak berdasar. Dia pasti punya pikiran yang lain.

Apa ... ini tentang tragedi Instagram yang kemarin? Dia ... berniat mengusili gue karena gue nge-stalk akun sosmed-nya?

Wah .... Bajingan tengik.

"Emang berapaan?" Pandangan gue tertuju ke isi nampan. Mengabsen kue-kue mungil yang tampilannya sangat Lucu. Topping buahnya warna-warni.

Oke, sejujurnya gue nggak sanggup menatap matanya lama-lama aja, sih. Nggak kuat. Apalagi gue nggak punya rencana apa-apa.

"Cuma seribu lima ratus, kok," jawab Revan. Senyumnya masih nangkring dengan paripurna. Beda level sama gue yang susah payah mempertahankan tingkat ketegangan otot pada bagian mata, dahi, dan pipi supaya lengkungan bibir gue tetap membentuk parabola. Sepegal apa pun rasanya.

"Enak, nggak? Ntar nggak enak, lagi." Suara Mona menyabet atensi gue. Mohon maaf, Mon, gue sampai lupa kalau lo masih eksis.

"Enak, lah. Dijamin. Makanya, ayo beli."

"Nggak lima ratus aja?" Gue membanting harga. Ini semakin tak tertahankan. Semua kepura-puraan ini bikin mual. Dia bahkan bukan penjaga stand, loh. Nggak ada pin tersemat di pakaiannya.

"Nggak bisa," Revan tertawa kecil. "Seribu lima ratus udah pas."

Yak, inilah kesempatan gue buat cabut.

"Yah ...," ekspresi gue berganti kecewa. "Padahal kalo lima ratus gue mau beli." Gue lempar kalimat pamungkas ke mukanya.

Makan, tuh, nada nelangsa gue yang sopan dan bermartabat!

"Iya ..., kalo lima ratus kami mau beli. Heheheheheheh." Mona ikut memperkeruh suasana.

Mimik muka Revan sontak berubah. Antara bingung ingin bereaksi seperti apa dan kesal karena basa-basi gue sukses bikin dia mati kutu. Akhirnya dia hanya mengulang kalimat sebelumnya. Dengan masih mempertahankan senyum. "Nggak bisa, hehe."

Untuk terakhir kali, gue tersenyum formal lagi. Kaki gue udah sigap mengambil ancang-ancang. "Yaudah enggak deh kalo nggak bisa. Maaf ya," kata gue.

"Iya ...."

Kemudian, gue dan Mona melenggang pergi diiringi sepoi angin. Bagai jagoan bertuxedo yang berhasil membuat mobil meledak di belakangnya dalam film aksi: keren, sangat keren, super duper keren!

"Gue ke sana, ya?" Mona akhirnya pamit.

Gue mengangguk. Dia harus ke kanan, arah kelas 12 IPA 1. Sedangkan gue ke kiri, ke kelas 10 IPA 1.

Teras mantan kelas gue itu tampak ramai begitu gue sampai. Siswa-siswi dengan pin biru memadati serambi. Ada yang mengobrol, memainkan ponsel, mengobrol, mengobrol, mengobrol. Mengobrol for life. Dan di antara semua yang mengobrol itu, nggak ada satu pun yang gue kenal.

Monosodium GlutamateWhere stories live. Discover now