Delapan

2.7K 218 40
                                    

Yang kulakukan cuma bernafas, hanya itu satu-satunya hal yang sanggup kulakukan dengan baik saat ini. Bagaimana tidak? Sejak Dewa keluar, kepalaku mendadak penuh dengan pikiran-pikiran jahat. Apa yang terjadi pada anakku? Apakah dia baik-baik saja? Kenapa dia ada dirumah sakit? Kenapa aku tidak boleh ikut menjemput anakku? Apa hal buruk sedang terjadi?

"bu, pak Dewa sudah pulang" kata pelayan yang tadi menopang tubuhku dan mendudukkan ku ke sofa ruang tengah ini.

Aku menoleh kepadanya, kemudian mengangguk paham. Pelayan itu menunduk sopan sebelum masuk kebagian dalam rumah.

Dewa melangkah pelan sekali, begitu melihatku dia langsung menghampiri dan memelukku erat sekali. Beberapa saat kemudian, dia jatuh terduduk dihadapanku sambil memeluk kedua kaki ku. Tak lama, terdengar isak tangis Dewa diiringi banyak sekali kata maaf.

Aku tak mampu melakukan apapun, hatiku yakin sekali kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Amasha.

"Amasha dimana?" lirihku.

Dewa tak menyahut, hanya terus melanjutkan tangisannya sambil mempererat pelukannya pada kakiku.

"Dewa, Amasha dimana?" ulangku.

"dalam perjalanan" sahut suara lain.

Aku menoleh, menatap Raja yang baru saja masuk. Wajahnya merah, matanya juga merah sekali. Adik iparku itu berjalan pelan menghampiri kami sebelum kemudian duduk disampingku.

"Amasha sedang dalam perjalanan menuju kemari, bersama kak Dewi, ayah dan bunda. Orangtua kak Irida juga sedang dalam perjalanan kemari"

Aku mengerutkan dahi mendengar penjelasan Raja.

"kenapa? Kenapa semuanya kesini?" tanyaku bingung.

Raja bungkam.

"ini ada apa sih?" tanyaku lagi, mulai frustasi dengan kelakuan mereka.

Tak ada yang menyahut, aku berdiri dengan kesal meninggalkan mereka. Kalau mereka tidak mau memberitahu, biar kucari tau sendiri.

Dengan jengkel aku keluar rumah, mobil Dewa masih terparkir sembarangan di halaman dengan mesin yang menyala. Dewa tak pernah ceroboh meninggalkan mobil yang masih menyala, ini pasti kerjaan Raja.

Baru saja masuk kemobil Dewa, aku langsung keluar lagi saat mobil jenazah milik Adiwinandra hope hospital memasuki gerbang rumah kami disusul dengan sederet mobil lainnya dibelakang.

Kuhitung ada 5 mobil dibelakang mobil jenazah dan aku mengenal semua mobil itu. Tepat dibelakang mobil jenazah itu ada mobil suami Dewi, dibelakangnya ada mobil papa, kemudian mobil ayah mertua ku, disusul mobil Ainesh dan yang terakhir mobil suami Dini.

Untuk apa iring-iringan ini datang kerumahku?

Dewi turun lebih dulu, diikuti oleh suami dan suster pengasuh bayi nya. Segera kuhampiri adik iparku itu.

"Wi, Amasha dimana?" tanyaku.

Dewi tak menyahut, hanya menunduk dalam.

"ini ada apa, sih?" tanyaku entah pada siapa.

Saat Ainesh turun dari mobil bersama Felish, Ryu dan Adelle, kuhampiri mereka dengan cepat.

Aku berlutut dihadapan Adelle, kutatap anak itu dalam-dalam.

"Adelle, Amasha dimana?" tanyaku lembut.

Adelle menunjuk mobil jenazah dengan tangan kanannya.
"Amasha di mobil putih itu" katanya lugu.

Seperti ada yang menghantamkan batu besar ke kepalaku. Aku terduduk lemas ditanah. Telingaku berdenging, aku tak bisa mendengar apapun. Rasanya separuh nyawaku dicabut secara paksa. Menyakitkan sekali.

Luka ini yang terakhir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang