Chap 14

55 7 3
                                    

Aku up dua chap ?
Kalian sukaaaaa ????

Tinggalkan vote dan komen. Kalian pasti tau cara menghiburku biar cepet up chap selanjutnya...
.
.
.
.

Keesokan harinya, beruntung Luna diselamatkan oleh hari Minggu. Selama waktu terang, dia hanya mengerami kasur. Wajahnya serupa jemuran lembek minta dijemur. Kondisinya jorok, make up kemarin nyatanya belum dibersihkan. Dia juga masih menggunakan baju yang sama dirangkap jaket hoodie keabuan dan celana piyama kedodoran.

Luna duduk bersila sambil menonton drama dari laptopnya berlarut-larut. Ditambah sarapan satu liter ice cream coklat dan tujuh kaleng soda untuk siangnya. 

Sumpah, tidak biasanya dia galau. Bahkan untuk meratapi Hoseokpun tidak sedramatis itu. Baginya, ini adalah akumulasi dari rintangan dan persoalan yang Ia hadapi. Luna tumpahkan dalam sehari sebelum memulai jadi dirinya lagi.

Wajar, semua wanita begitu. Dia masih normal. Dikelilingi banyak pria kaya mengasikan tapi siapa yang betah harus jadi sundal terus ? Ya, kan.

Senjapun bergulir tak terasa. Dia tau sampai batas mana harus menghentikan segala kegilaannya. Dia beranjak dari peraduan lalu menyempatkan berendam dalam bak mandi. Dia menuang sebotol penuh essence mawar ke dalam air, membiarkan benda mungil itu mengambang hingga isinya habis.
Aromanya menguar hebat, dia seperti lebah yang menyerap wewangian bunga sampai kering supaya semerbak saat bertemu Jimin.

Ya, dia masih ingat pesan pria itu.  Di Ocean club sebelum jam delapan.

Tak banyak interaksi sepuluh menit pertama. Matanya kosong, tenggelam dalam busa sebatas leher dengan satu lengannya menggantung—memencet aplikasi Spotify dan memilih salah satu lagu personil BTS, Still With You.

Suara estetik Jeon Jungkook layaknya peredam—romantis. Cocok bagi yang merindukan kekasih tapi nyatanya Luna tidak sedang diposisi itu. Lagu itu untuk Ibunya yang berada di Jeju.

"Eomma..," nadanya lirih sekali seperti butuh pelukan. Sedih.

"Halo, Luna ?"

Entah kenapa, untuk saat ini tidak ada yang lebih menenangkan selain suara ibunya sendiri dalam genggaman ponsel.

"Ibu sehat ? Bagaimana Jeju ?"

"Baik, sayang. Kau tidak sedang ingin bunuh diri, kan ?" tanya si Ibu blak-blakan.

Luna tersenyum, "Aku putus dengan Hoseok." Dia menggigit bibir bawahnya kecut.

"Jinjja ?"

Luna mengangguk dalam diam. Jujur, hubungannya dengan sang ibu tidaklah jauh-jauh layaknya sahabat. Dia memang jarang bersua karena jarak. Luna memutuskan untuk mencari kesuksesannya sendiri sepeninggal Ayahnya. Meninggalkan sang Ibu di Kampung halaman.

Dia mungkin berkunjung dua sampai tiga kali dalam setahun. Tergantung keadaan. Meski begitu, dia selalu bercerita banyak hal soal kehidupannya—termasuk Hoseok.

"Aku putus dengannya. Bisnisku tidak berjalan lancar dan sekarang aku dikelilingi banyak pria untuk mendapatkan uang. Aku gagal sukses, Bu," keluhnya.

Si Ibu dari rumah mengatupkan mulutnya. Berusaha untuk memahami kondisi anak semata wayang. "Luna, jangan memaksa dirimu. Sempatkanlah kemari. Masih ada tempat untuk berpulang."

Luna meneteskan air matanya. Meragu. Menyerah bukan pilihan tapi kalimat sang Ibu cukup mendinginkan kepalanya.

"Setelah semuanya selesai, aku akan mengunjungi Ibu," jawabnya.

"Ibu tau kau bisa. Jangan terlalu banyak bermain dengan penjahat kelamin. Kau tau APV, kan ?"

"HIV, bu," koleksinya.

"Ya, itu. Gunakan pengaman. Aku tak ingin cucu dari bibit yang tidak jelas."

Luna begitu terharu bisa bercanda ringan begini. Dia menghapus bulirnya. "Salahku, jika aku kelewat memesona ? Salahkan Ibu yang juga cantik. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya."

"Heish...kau hanya mencari ibu saat butuh dimengerti, kan ? Kau tak sepenuhnya rindu ibu," canda si Ibu.

"Ya ! Aku rindu masakan ibu. Rindu memetik jeruk di Kebun. Aku harus secepatnya kembali—mungkin mencari jodoh di sana kalau perlu."

Keduanya terkekeh, saling bertukar banyak hal. Dia lebih nyaman jika kesulitannya dibagi dengan orang lain—dalam hal ini Ibunya.

Memang saat sedih, wanita tak butuh solusi-solusi logis layaknya pria. Dia hanya ingin didengarkan. Disambut baik tanpa dicap buruk, disalahkan atau lebih parah dihakimi.

Obrolan jadi terasa singkat ketika jarum jam menginjak angka tujuh malam. Luna segera mengakhiri percakapan.

"Eomma, aku ada janji dengan Baek Jimin."

"Siapa dia ?"

"Sepupu Ri Seokjin."

"Tetangga sebelah ? Pemilik gedung yang katamu ketus itu ?"

"Tidak, Bu. Sekarang dia tidak terlalu ketus, maksudku akhir-akhir ini lebih sering menggenggam tanganku di mobil."

Si Ibu terhenyak. Dalam keheningan dia memikirkan Luna yang masih trauma akibat kecelakaan Ayahnya.

"Kau tidak harus terpaksa naik mobil, sayang."

"Tapi saat itu aku ada perlu dengannya. Lalu sekarang Baek Jimin."

"Astaga, jangan gonta ganti pasangan lebih dari tiga."

Dia menggedikkan bahunya, "Sudah ya, Bu. Aku akan mengabari Ibu lain waktu."

{}{}{}

Luna sudah berada di Ocean Club. Memilih tempat duduk di balkon menjauhi hingar bingar musik. Betapa berdebar perasaannya kala itu. Banyak kemungkinan yang akan terjadi, saat Jimin tau ternyata Lee Youra adalah Luna Park. Tetangga sepupunya yang kemarin malam makan bersama. Mungkin respon Jimin akan menggila saat itu terjadi.

Kaget, pasti. Canggung, iya. Marah ? Mungkin. Atau Jimin tak peduli dan mengajaknya menginap di Hotel.

Segala kemungkinan itu ada. Namun, bagi Luna, dia seketika tidak siap bertemu. Dia juga tidak tergerak untuk membatalkan. Padahal bukan hal yang sulit untuk mengirim pesan dan menunda pertemuan.

Pikirannya terus berputar, antara ingin segera membongkar rahasia atau kembali menguburnya dalam-dalam. Bimbang.

Dia memutar gelas anggurnya, menyesap pelan kemudian meletakkannya lagi. Masih menunggu kedatangan Baek Jimin tapi juga mengutuk, semoga mobil Seokjin yang dipinjam Jimin mogok dan harus diderek untuk dibawa ke bengkel.

Kutukan itu terkabul, Jimin tidak kunjung datang hingga pukul sebelas malam.

{}{}{}

Kemana Jemeeen ?
Apa yang terjadi ?

😭😭😭😭

ALTERLAND - [JIN • PJM • JHP] - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang