Takdir yang bertolak belakang

1 0 0
                                    

Siapakah yang tak mau akan harapannya terkabul?
Pastinya, semua orang memiliki harapan yang baik mau pun buruk.
Tetapi, bagaimana jika harapan itu tidak sesuai ekspetasi?
Langitkan saja...
____
5 tahun yang lalu,
Diriku yang masih berusia 17 tahun bertanya polos kepada Ibuku.
Duduk bersanding di teras atap rumah, suasana senja menyertai kepolosan diriku.
Aku menoleh dan seketika bertanya. "Bu, apakah ibu mempunyai sebuah lingkaran yang dapat membedakan waktu?"
"Kau ini," Tertawa terbahak-bahak.
"Itu bukan lingkaran atau apa pun yang sedang kau pikirkan sekarang," ujarnya.
"Semua itu adalah harapan, namanya harapan," tekannya.
Aku memonyongkan bibir dan kembali bertanya. "Ibu pernah mengalaminya?"
"Atau ... ibu pernah membuat harapan?"
Menatap dalam dan tersenyum. "Pernah, sekali dalam seumur hidup yang akan ---" Meneteskan air mata.
Riana yang melihat Ibunya meneteskan air mata dengan cepat mengangkat rok panjangnya dan mendekatkannya ke pipi sang Ibunda.
Mengusap halus. "Bu ... ibu tidak apa-apa?" Menyembunyikan bibir.
"Ahh ... tidak, Nak." Memalingkan wajah.
Melihat tingkahnya yang membuat diriku geram, aku pun menatap pemandangan dalam dan berkata. "Jika Ibu menyembunyikan sesuatu dariku, aku bersumpah tidak akan bicara bersama Ibu lagi," ucapku kesal.
Menatap diriku haru. "Nak ... maafkan Ibu, karena Ibu tidak bisa menemanimu ketika menikah nanti," Tersenyum lebar.
"Apakah jika Ibu berkata seperti itu, harus memasang mimik yang palsu?" tanyaku ketus.
Mengusap air mata. "Habis, bagaimana lagi, Nak," ujarnya.
"Harapan ibu selalu berumur pendek, dan juga ----"
.
Flashback on

"Semuanya! awak kapal, dan para penumpang! diharapkan segera turun melalui jalur darurat!"
.
.
.
Teriakan, kepanikan, dan tangisan menjadi satu irama yang sangat menyedihkan. Seorang Ibu yang menenangkan bayinya, seorang lansia yang kesulitan berjalan, hingga seseorang yang panik tak terkendali.
"Huwaa!! mam-" Suara rengekan seorang bayi membuat sang Ibunda panik sekaligus takut akan peristiwa apa yang terjadi selanjutnya.
"Nak ... jangan nangis, ya?" Berusaha untuk tegar.
"Ibu juga sakit, Nak," ungkapnya meneteskan air mata dan berusaha memalingkan wajah dari sang anak.
.
.
Sedangkan, Ibunda Riana yang memeluk sebuah tiang yang dapat menumpu tubuhnya.
Lalu, di mana sang Ayah?
"Hiks ... Riana! tolong Ayahmu, Nak!" pintanya sembari meringis sesak di dadanya.
"Ibu ... Riana takut! hiks ... hiks...." Menangis.
Saat ini, Ayah Riana berdiri diterpa ombak yang tengah menunjukkan kekuatannya.
Menatap dalam seisi laut, sesekali berkedip, dan meneteskan air mata.
Terkejut. "Ayah!" panggil Riana yang tengah berusaha menghentikan isak tangisnya.
Kapal terus terombang-ambing ke sana-ke mari diikuti suara terpaan ombak yang terdengar jelas di telinga para penumpang.
Ayah Riana hanya menoleh sekilas dan tersenyum tipis.
"Ayah! pergi dari sana! hiks ... pergi, Ayah!" teriaknya berusaha menghadang aksi Ayahnya yang nekat itu.

30 menit yang lalu

Seorang Ayah yang duduk melamun memikirkan sesuatu yang amat menyusahkannya. Pikiran yang selalu negatif di sertai prasangka buruk.
"Apa aku harus melakukan hal ini?"
"Demi menyelamatkan Putriku dan Istriku, iya! aku harus melakukannya!" Batinnya sembari berdiri di tengah banyak orang yang sibuk dengan pekerjaannya.
"Ayah? Ayah kenapa?" tanya polos Riana yang baru saja bangun dari tidurnya.
"A-ayah mau ke toilet, apa kau tahu di mana toiletnya?" ucapnya berbohong.
"Ayah tanya saja kepada pegawai." Memalingkan wajah.
.
"Ayah! Pergi dari sana! hiks ... pergi, Ayah!"

"Suamiku! pergilah cepat! ombak besar sedang menunggumu! janganlah kau mematung seperti itu! cepat pergi!"
.
Pikiran sang Ayah saat ini sedang kacau balau, hingga dengan mudahnya Ia mendapat bayangan akan sesuatu yang akan terjadi nanti.
"Ayah tidak kencing sembarangan 'kan?" tanya Riana heran.
"Ahh? t-tidak, Nak," ucapnya baru saja tersadar dari jeratan pikirannya.
Tersenyum dan mengacak-acak rambut rapiku. "Tidur, ya...." Pergi meninggalkan Riana bersama Ibunya.
.
.
"Memangnya, berada di dalam kapal besar seperti ini aku harus tidur?" Mengerutkan dahi. "Semua orang selalu menyuruhku tidur, sedangkan mereka sibuk dengan urusannya sendiri," ucapku kesal.
"Aku tidak akan tidur sampai Ayah kembali, aku harus selalu terjaga!" Menyakinkan diriku.
.
30 menit setelahnya
.
Saat itu juga,
Ayah Riana dengan santainya menenggelamkan dirinya ke dalam laut yang menurut Riana sangatlah mengerikan bisa melihat isi dalam laut tersebut.
.
Aku dan Ibuku tidak bisa berkata-kata lagi.
Melihat seseorang yang sangat kami cintai, tenggelam begitu saja ditelan oleh laut yang sangat kejam.
.
Terdiam sejenak dan berteriak. "Ayah!!!" Teriakku mengiringi tenggelamnya Ayahku untuk selama-lamanya.
.
Ting...
Ting...
Ting...
Suara musik yang terputar di dalam kapal menghiasi isak tangis kami berdua.

Sungguh sangat menyedihkan, bisa melihat langsung kematian Ayah kami.

Flashback off
.
.
"Takdir tak pernah mengijinkan Ibumu ini berharap akan sesuatu," ujarnya.
"Setelah melihat hal itu, Ibu sangat terpukul akan kepergian Ayahmu, Nak," ungkapnya haru.
"Nak, jika Ibu akan menyusul Ayahmu, apakah kau akan memafkan Ibu?" tanyanya.
"Apa!? Ibu tak boleh menyusul Ayah! Ibu harus selalu di sisiku! Titik!" tekanku.

Waktu berjalan sangat cepat, hingga membuat Ibuku tidak mendengar jawabanku dan langsung pergi meninggalkanku.
Pergi begitu saja tanpa aba-aba, membuat diriku sangat kesal akan perlakuan Ibu.

Haruskah diriku menjadi seorang anak yang selalu mengikuti alur yang ada?
Aku selalu mengikuti kegiatan orang lain, walau itu penting atau pun tidak sama sekali.
Aku sangat senang dengan tawa dan tangis seseorang, hingga membuat diriku selalu tertarik akan sesuatu yang orang lain perbuat.

Hal itu juga yang membuat jiwa raga di dalam diriku menghilang seketika dan di tempat yang sama juga.
.
.
.
5 tahun setelahnya,

Aku sedang mengandung seorang anak dengan kelainan yang dideritanya.
Mengusap lembut, bersamaan dengan isak tangisku.
"Hiks ... hiks...." Aku meneteskan air mata di detik-detik kematianku dan calon anakku.
.
.
Aku duduk sendirian di tempat duduk sebuah mobil dengan 4 pintu. Aku menangis dengan ditemani calon anakku yang setia mendengarkan kesedihanku, dimana pun dan kapan pun.
.
Tik...
Tok...
Tik...
Tok...
Tik...
Tok...
Waktu terus berjalan, hingga sebuah kereta dengan seorang masinis yang sangat mirip dengan Ayahku melaju kencang menuju tempat terakhirku.
.
.
.
BRAAAKKK!!!
Mobil yang aku tumpangi telah tertabrak kencang, hingga terseret 20 meter.
.
.
.
Selamat tinggal calon anakku, ku menyayangimu dan untuk selamanya.
Tetes air mata terakhirku menetes tepat di perutku.
Semoga, itu adalah tanda kasih sayang terakhirku untukmu.
.
.
.
"Takdirku selalu bertolak belakang dengan harapanku."
- Riana

S to BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang