Syukurilah rahmat-Nya

0 0 0
                                    

Pagi hari tanpa adanya kehadiran teman-temanku, memanglah waktu di mana aku dan diriku sendiri merasakan kesepian dan kesendirian yang sangat mendalam. Menjalani rutinitasku seperti biasanya, dan pergi menuju ruang utama rumahku.
"Klotak!"
"Klotak!"
Aku menyiapkan sarapan pagiku, yang hanya berbekal sepotong keju dan seracik roti.
Kriiing!!
Nada dering ponselku berbunyi keras, sehingga membuatku terkejut sembari melahap sarapanku. Aku pergi beranjak menuju meja, di mana ponselku terletak miring di atasnya.
"Halo?" Aku melahap sarapanku.
"Halo Bil!" teriaknya.
Hanya mendengarnya sekilas saja, jantungku rasanya ingin lepas sekarang.
Memejamkan mata dan berkata, "Zo, kamu punya orang tua 'kan?" tanyaku lembut.
"Punya, kenapa Bro?" tanyanya kembali.
Ketika diriku ingin menjawab pertanyaannya, Dia malah menyela perkataanku.
"Bill, jangan bilang kamu mau ceramah," ucapnya.
"Aku hanya mau bilang, hari ini juga---"
"Aku sibuk!" Hendak mematikan sambungan telepon.
"Eiit! tunggu, tunggu ... kita semua mau pergi piknik ke puncak sekarang, dan kamu harus ikut." tekannya.
Aku membuka kelopak mataku lebar. "Hari ini!? kapan?" tanyaku.
Memasang ekspresi datar. "Bicara aja sendiri!" Memutuskan sambungan telepon.
"Hah?" Menggaruk puncak kepalaku tanpa ada rasa gatal yang mengganggu.
"Ke puncak? Uyeee!! let's go!" ucapku antusias.
Kapan lagi bisa berkumpul bersama teman-teman yang amat ku sayangi seperti ini, bertukar pikiran, bercanda ria, dan ... masih banyak lagi.
.
.
"Oh ya, aku 'kan sudah tampan plus sudah rapi." Merapikan pakaianku di depan cermin besar yang terpasang di ruang utama rumahku, dan sekarang aku sudah siap beranjak pergi meninggalkan rumah megahku yang sepi nan usang seperti tempat-tempat di film horror.
.
Flashback on

Aku duduk bersila di pojok ruangan kamar mewahku. Menunggu kedatangan seseorang yang sangat ku nantikan; Ibuku.
Sepi tanpanya, sekaligus sepi bersamanya. Hari-hariku seperti seseorang yang hidup sebatang kara, namun memiliki teman di realitanya. Senyumku hilang, ketika diriku memasuki ruangan luas nan megah ini. Entahlah ... aku sangat kesepian tanpa adanya teman-teman yang hanya aku jumpai di kampus tempatku mengejar mimpi-mimpiku. Entah hanya mencari pasangan ataupun mencari teman untuk mengisi kesepianku.
Tetapi, aku tidak pernah dekat dengan para perempuan yang kuliah di kampus yang sama denganku. Bertemu pun, aku tidak pernah disapa sopan, hanya lewat sekilas dan aku hanya memandangi tawa mereka; sadboy.
Aku mengambil secangkir teh yang berlukiskan wajah cantik Ibuku. "Seandainya Ibu di sini, aku pasti senang." Aku tersenyum haru.
Aku meneguk cepat isi cangkir tersebut. "Glek! Glek! Glek!" Aku meneguknya seperti apa yang aku rasakan saat ini, yaitu seberapa sepinya duniaku.
"Aku harus segera menghabiskannya," Batinku seru.
"Glek!" Tegukan terakhir telah meluncur ke tenggorokanku.
"Ah ... sungguh sunyinya kehidupanku." Menutup cangkir kasar.
"Ku harap...." Menatap ke luar jendela.
"Semuanya akan berjalan sesuai alur kehidupan." Tersenyum lebar sembari menghelas nafas lembut.

Flashback off

Menjauh dari lingkaran pergaulan. "Huh ... sangat melelahkan." Menyibakkan rambut kesal.
"Ella! sini!" Memberikan isyarat tangan.
"Ngga, aku sudah lelah, Ra." Menggelengkan kepala; tidak mau.
Menghela nafas kasar. "Ella...." Menghampiri.
Melipat kedua tangan dan memutar bola mata malas. "Kenapa lagi? hm?" tanyanya malas.
"Kita semua sedang bercakap-cakap, kamu malah sendirian di sini, ayo!" Meraih tangan Ella cepat.
"Ra ... aku ini lelah dengan keadaan yang seperti ini," rengeknya mengikuti ajakan Rara.
Aku memandangi wajah kesal Ella. "Kenapa lagi si Ella?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.
"Dia pasti lelah tuh." Melirik Ella sekilas dan menghabiskan minumannya.
Aku berpikir sejenak. "Kenapa di saat orang lain memiliki kesemoatan untuk bergaul, mereka malah menjauh. Sedangkan, aku malah ingin bergaul." ucapku bernada kecil.
"Ya ... aku sadar, aku adalah anak tunggal. Sedangkan mereka, adalah anak di antara anak yang lain di dalam keluarga." ucapku sembari memasang wajah lesu.
.
"Bill! ayo, kita mau berangkat sekarang!" teriaknya membangunkanku dari belenggu pikiranku.
"Ah? iya, aku menyusul!" teriakku sembari berjalan menuju mobil 4 pintu yang terpajang mewah di mataku.
.
"Huh! sungguh menyebalkan!" Meletakkan rangka wajah di telapak tangannya.
Aku yang mendengar ocehan kesalnya, spontan berbicara di depan cermin kecil yang terpasang di depanku. "Seharusnya, kau bersyukur atas semua ini," ucapku sembari melirik Ella sekilas melalui kaca itu.
"Apa? bersyukur?" Memutar bola mata malas.
"Hidup kayak gini aja bersyukur," ucapnya sembari meletakkan kepalanya ke bantalan yang ada di kursi mobil.
.
"La ... di luar sana itu masih banyak yang hidup kesepian, sebatang kara, hidup sendiri, dan lo masih diberikan teman yang menurut gue itu sangatlah berharga," ucapku kepadanya.
"Termasuk gue sendiri," ucapku yang hanya bisa didengar oleh diriku sendiri.
.
"Bener tuh, La!" sela Rara mengacungkan telunjuk kepada Ella.
"Ok fine, gue terima semua itu,"
"Gue ucapin selamat buat kalian semua, karena telah menjadi sahabat yang selalu ada buat gue," ucapnya lirih.
"La ... lo ngga apa-apa 'kan?" tanya Rara.
Tersenyum. "Ngga kok, terima kasih, ya?" Menghapus air mata.
.
.
.
Kita sebagai manusia yang diciptakan berbeda dengan yang lainnya, seharusnya kita mensyukuri adanya hal itu.
Karena apa?
Mungkin, masih banyak orang yang tidak memiliki kesempatan emas itu, dan kita yang memilikinya, sepatutnya menghargai apa yang telah Tuhan berikan kepada kita; sebagai makhluk yang beruntung atas apa yang diberikan-Nya.
Kebersamaan memang tidak diberikan merata keseluruh manusia yang ada di bumi ini, ada yang diberikan dan ada juga yang menderita akibat tidak mendapatkan sebuah kebersamaan.
"Hargailah seseorang yang hadir di dalam hidupmu, sebagaimana engkau menghargai ciptaan Tuhanmu."












S to BWhere stories live. Discover now