⭕Godaan⭕

152 28 0
                                    

  Gue, sih, sebenarnya agak heran aja gitu. Kenapa, ya, makanan yang di tuju pasti bakso. Kenapa nggak usus goreng aja, 'kan enak, tuh.

  "Lama amat, sih, keroncongan, nih perut gue." Pandu menepuk-nepuk meja. Itu, tuh, seperti lagi main gendang profesional, mana nyaring banget lagi.

  "Iya, nih, cacing-cacing gue berkokok!"

  Itu bukannya ayam, ya? Ada-ada aja nih Vino. Gue perhatiin si Reval yang dari tadi liatin Meli terus. Sedangkan gue, secuil upil pun dia nggak liatin.

"Sabar dong bro, santuy. Hidup itu harus sabar, karena orang sabar itu umumnya ganteng." ucap Rio sok asik. Sendok yang seharusnya buat makan, lah ini dia pake buat garuk kepala.

Jijay!

"Ganteng-ganteng, pala lo kek saturnus. Bedebah, sok asik! Fuck!" umpat Willi sambil menoyor kepala Rio. Mampus.

"Eh Rio, tuh sendok buat makan. Bukan buat garuk kepala, ntar yang ada baksonya penuh kutu lo. Ih jijay!" Gue bergidik ngeri, membayangkannya aja gue ngeri apalagi beneran.

"Tau tuh, siapa sih lo? Pendatang baru aja bacotnya kelewatan."

Tuh bener kata Vino, biasanya orang baru itu pendiam. Kalau yang ini, main cerocos aja.

"Lo pada bisa diem nggak sih? Sabar, sebentar lagi baksonya juga di antar kok, lihat sendiri 'kan orang-orang juga banyak yang nunggu!"

Gue mendongakkan kepala, siapa tau aja ada cicak yang lagi berhubungan intim, lumayan jadi tontonan gratis.

"Iya bener kata Reval, sabar aja."

Suara lembut kek badut milik Meli ikut ikutan angkat suara. Diem aja lo! Denger suaranya aja pengen gue tampol mukanya pakai remote tv di rumah.

'Tak!

Akhirnya bakso beranak yang gue pesan udah nongkrong di atas meja.

"Maaf, Mbak, Mas, nunggunya kelamaan." ucap pria itu. Sepertinya sih umurnya sama seperti kita, kasian sih umur segini malah kerja beginian.

"Ya, nggak papa, thanks."

Setelah Reval berkata, itu cowok sontak aja mau balik badan. Tapi sebelum itu, "Eh mas." Gue manggil cowok itu, terus dianya kayak kebingungan.

"Saya?"

Dia menunjuk dirinya sendiri, yaa iyalah lo, terus siapa lagi?! "Iya, lo."

"Kenapa ya toh Mbak?"

Gue menatap satu persatu dari mereka, semuanya pada berlabuh pandang ke gue. Kepo banget dah jadi orang. "Abangnya ganteng." Gue tersenyum nakal serta menaikkan alis kiri, kalau alis yang kanan nggak bisa gue naikkin.

"Ah mbak bisa aja." Eh, emang benar kok. Dia itu ganteng, putih, tingginya lumayan lah, berlesung pipi sebelah kiri. Widih punya pacar kagak ya?

"Jangan kena baper, dia ini emang suka baperin orang." Gue melototi Reval, sekata-kata ngatain orang.

"Sudah-sudah, baksonya ntar dingin." Meli angkat suara.

"Sumpah, pentolnya enak banget bet."

Willi melahap pentolnya saja, sedangkan yang lainnya dia biarkan. Pantas aja badannya kebal dalam baku hantam. Wang makanan tiap harinya daging sapi, herannya Willi nggak pernah darah tinggi.

"Eh kalian bakso beranak ini lahirnya normal atau di sesar?" tanya gue ke mereka-mereka yang asyik berduaan sama baksonya masing-masing.

"Uhuk uhuk---"

"Kenapa lo pada batuk-batuk? baksonya kebanyakan micin?"

Lagi-lagi pertanyaan gue di kacangi. Kacang, kacang, kacangnya kakak.

Diary Remaja [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang