⭕Rio biang kerok⭕

157 28 0
                                    

  °Sekolah

  "Serem amat, nih, sekolah."

  Ketika sampai di sekolah, persis seperti gudang hantu. Sunyi. Harinya juga sudah mulai gelap, cuma kami bertiga yang ada di sini. Ya, bertiga. Gue, Reval, sama tikus yang lewat barusan.

  "Cepat masuk, gue tungguin di sini." Reval menyenderkan tubuhnya di motor, enak banget nyuruh gue masuk sendirian.

  "Kejam banget si lo Reval, lo ini berdosa sekali, nggak peka banget, sih! Temenin gue dong!"

  "Bilang aja lo takut."

  Sekali saja nggak usah debat napa, puyeng gue terus terusan begini. "Iya gue emang takut, so, temenin gue."  Tanpa menunggu jawaban Reval, gue menarik lengannya yang mulus itu.

  "Eh, eh, lepasin ogeb! Anjir, lo nariknya kencang amat, sih!"

  Ye, udah sampai baru aja minta lepasin. Jantung gue sudah berbunyi dag dig dug, kencang.

  "Cepat ambil!"

  Gue terkejut bukan main, Reval asal main dorong gue hingga masuk ke dalam ruangan yang mulai gelap. Ditanya soal lampu, di sini nggak ada lampu, aneh juga Pak Topan, punya duit kok nggak di pakai. Mending di kasih buat gue, lumayan buat beli kouta internet.

  "Lo masuk juga dong!" Dengan asal gue menarik tangannya, biarin dia banyak bacot dulu.

  "Ck! Nyebelin banget, sih, lo jadi cewek." Tanpa menanggapi ucapan Reval, gue menyalakan senter hp.

  "Nah, itu dia!"

  Tumpukan kertas yang gue cari akhirnya ketemu juga. Tapi, letaknya dekat jendela lagi. Bisa saja 'kan ada tangan di situ yang lagi merayap. Ih jadi ngeri!

  "Val, ambil." Gue menunjuk ke tumpukan kertas itu.

  "Kenapa jadi gue? Lo aja sana."

  "Lo takut, yee?"

  Gue menoel perut Reval gemes, gue merasa lagi memegang roti sobek di perutnya.

  "Siapa bilang gue takut?"

  "Ya sudah ambil sana!" Gue segera mendorong Reval.

  'Blam!

  "Waaa ....!"

  Siapa coba yang nggak terkejut, pintu yang awalnya terbuka tiba-tiba tertutup sendiri. Habis itu angin aja kagak ada. Sontak, gue berlari ke arah Reval lalu bersembunyi di belakang tubuhnya yang nggak lebar itu.

  "Lo nutup pintunya, Ze?"

  Gue menggeleng cepat, bulu kuduk juga mulai merinding. Nggak, gue nggak berani membuka mata. Kuping gue terdengar jelas bahwa Reval meneguk saliva berat. Dia yang cowok aja takut, apalagi gue.

  "Gue meriksa dulu, mungkin aja 'kan itu tadi angin."

  "Angin! Angin, mana ada." Reval menjauh dari gue guna mendekati pintu itu. Takut di tinggal lari, gue ikut mengekori Reval, dari belakang tapinya.

  "Ke-kenapa, Val?" tanya gue gugup, karena Reval natap gue seperti orang ketangkap basah maling jemuran.

  "Pintunya ke kunci."

  Tiga kata yang membuat darah gue naik turun, spontan aja gue ikut membuka pintu itu. Rasa takut gue akan hantu tiba-tiba hilang begitu saja.

  "Lho, kenapa jadi macet gini, ya ampun, Val, gue nggak mau mati di sini huwaa ....gue mau kawin!"

  Gue nggak mau mati dulu, gue mau ngerasain kawin terus nikmati bulan madu, terus nikmati olahraga malam sama suami.

  "Jangan bercanda dulu, Ze, bukan waktunya, nih!"

  "Siapa yang bercanda?!" Gue melirik jam di layar ponsel. Maklum, gue nggak punya jam tangan. "What?! Sudah mau jam 6 pas."

  Perasaan, gue datang ke sini masih jam 4 lewat. Reval melirik ruangan ini ke atas, ke samping, ke bawah dan ke hati hiya hiya hiya.

  "Nggak ada cara lain lagi, sebaiknya kita lewat jendela." Masa iya lewat jendela, bisa-bisa kaki gue langsung keseleo kalau loncat mau turun. Kalau rendah sih nggak masalah, lah, ini, tinggi.

  "Gue nggak mau!"

  "Ya sudah!"

  Reval berlari ke arah jendela itu. Tanpa basa-basi, gue juga ikut berlari, biarin ini kaki keseleo, yang penting gue bisa keluar dari ruangan hantu ini.
Gue melirik dari atas ke bawah. Buset tinggi bener!

  "Cepat turun!"

  "Takut!" Jiwa superhero gue mulai meleleh, buktinya, gue mau mewek.

  "Lo mau di sini? Kalau lo mau, ya sudah gue duluan."

"Iya deh, iya, lo duluan aja loncatnya. Ntar gue yang nyusul!"

  Jari jempol Reval terancung. Tanpa banyak bacot, Reval langsung loncat ke bawah. Gila woy, dia loncatnya segampang membalikkan sendok.

  "Sekarang, lo yang loncat!"

  Sebelum itu, gue mengambil kertas tadi. Dengan penuh percaya diri, gue mencoba loncat, tapi gue pakai rok. Susah, ah. Iya sih tadi pagi gue makai celana cuman saat di rumah makan tadi, juice milik Pandu tumpah mengenai celana gue. Ya, terus Meli pinjemin gue rok. Padahal nih, ya, gue rada-rada nggak nyaman gitu makai rok ketat seperti ini, kalau rok sekolah oke lah.

  "Gue nggak bisa bego, gue pake rok."

  "Lo pasti mengkhawatirkan sempak lo ya, tenang aja sempak lo yang di jemur di belakang rumah sudah lama gue liat." Jadi selama ini, dia ngintip sempak gue yang lagi di jemur. Parah.

  "Gila lo!"

  "Cepetan turun!"

  "Nggak!"

  "Turun!"

  "Nggak!"

  "Tunggu lo di situ, gue ke rumah Pak Topan dulu mau ngambil kunci, diem-diem bae lo di situ." Bayangkan, jika kalian di tinggal sendirian di tempat ini bagaimana?

  "Eh, jangan tinggalin gue!"

  Mau loncat tapi gue takut keseleo. Lebih tepatnya lagi gue udah jera, pernah gue ngalamin yang begini. Bukannya apa, sih, gue takut sama tukang urutnya, asal tekan aja. Selepas di tinggal Reval gue menyetel lagu senorita dengan volume yang sengaja gue kerasin.

  "Ya ampun, tuh, cowok ngapain aja, sih?" Gue mengecek jam lagi yang sudah menunjukkan jam setengah 7.

  Itu Reval lagi berak atau mandi kembang tujuh rupa apa? Jangan-jangan dia lupa lagi, atau dia sengaja ninggalin gue. Nggak gue kasih ampun lo Reval!

  'Bruk!

  Gue mengalihkan pandangan ke arah pintu yang terbuka. "Rio, kok lo ada di sini?" Rio terkejut ketika gue tanyain. Heran, ngapain nih anak ada di sini.

  "Zeze, lo ngapain di sini?" Pake nanya balik lagi.

  "Gue di suruh Pak Topan, nih, ngambil kertas ulangan, dan lo kenapa ada di sini?"

  "Gue ngambil jaket gue yang ketinggalan di kolong meja. Sebelum ngambil, gue liat pintu ini terbuka terus gue tutup. Tau-taunya saat gue lewat sini lagi, gue dengar lagu, ya udah gue buka. Ternyata, itu lo." Gue turun dari atas meja jungkir balik, lalu gue menarik kuping Rio. Ternyata dia biang keroknya.

  "Auw, Ze sakit!"

  "Ternyata lo, hah, yang bikin kami berdua ketakutan?!"

  "Berdua? Emang, dengan siapa?"

  "Reval!" jawab gue dan melepaskan jeweran itu, karena kuping Rio mulai merah, takutnya ntar kupingnya nggak berfungsi sebelah lagi.

  "Mana dia?"

  Nih, Rio banyak nanya, kek Dora Explore. "Ke rumah Pak Topan mau ngambil kunci, dan sekarang sampai ini dianya belum nyampe."

"Mungkin dia duluan kali, liat ini sudah hampir malam, mana mungkin Reval balik lagi ke sini. Ya, sudah biar gue yang antar ke rumah lo." Seperti biasa Rio narik-narik tangan gue, kenapa ya orang itu suka banget narik tangan gue?

T B C

Diary Remaja [End]✓Where stories live. Discover now