Bab 28

10.5K 1.4K 241
                                    

Dalam keadaan setengah sadar, Aji meraih gawai miliknya dari saku celana. Kedua matanya sedikit terbuka dan menekan tombol hijau.

"Halo?" sapanya dengan suara serak.

"Kamu belum pulang? Aku tunggu kamu daritadi." Suara Fiqa terdengar dari seberang sana.

Refleks, Aji mengubah posisinya menjadi duduk. Ia memerhatikan sekitar. Mobil yang ia tumpangi masih berada di depan sekolahnya dengan Gio yang masih setia duduk di  kursi pengemudi.

"Ini mau pulang," ucapnya masih dalam keadaan setengah sadar.

"Aku tunggu, ya." Fiqa pun mematikan sambungan telepon.

Aji menatap kesal pada sang ayah. "Kenapa gak jalan, Pa?"

"Kamu duduk di depan, baru Papa jalanin mobil ini."

"Oke." Dengan cuek, ia menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil.

"Kita udah diem di sini selama satu jam. Papa gak menolak kalau harus nunggu satu jam berikutnya, terus sampe besok atau minggu depan." Pria itu kembali bersuara dengan nada tenang.

Aji berdecak. Iapun memutuskan untuk melompati jok di depannya dan duduk di sana. Jika bukan karena Fiqa yang telah merindukannya, ia tidak akan melakukan ini.

Gio menoleh ke arah kirinya. "Papa minta maaf atas yang kemarin. Papa mengaku salah."

Anak laki-laki itu menatap jalanan di samping kirinya. "Jalan aja."

"Papa gak bisa ngebantah Opa, maaf."

Aji memejamkan kedua mata. Tangannya mengepal.

"Papa gak mau jadi anak durhaka. Di sisa umur Opa yang mungkin sedikit lagi nyusul Oma, Papa gak mau menyesal. Papa pernah jadi pemberontak, Papa rasa ini waktunya memperbaiki semuanya. Tolong ngerti, Dek."

"Aji udah bukan anak kecil," ucapnya ketus.

"Papa minta maaf, Aji."

Tanpa menoleh sedikitpun, anak laki-laki itu berkata, "Setelah ngeliat Kafi ditampar Opa dan Papa gak ngebelain sama sekali?"

Gio bungkam.

"Papa yang bilang ke Aji, sebagai laki-laki, kita gak boleh nyakitin perempuan. Apalagi sampe bikin nangis. Tapi Papa secara gak langsung udah nyakitin mama sama kakak di waktu yang bersamaan. Di depan mata Aji."

Anak laki laki itu menoleh, memberikan tatapan sengit. "Papa masih minta Aji buat ngertiin Papa? Apanya, Pa? Apanya yang mau dingertiin?"

"Kamu gak ngerti..," ucap Gio sedikit berbisik.

"Apanya yang Aji gak ngerti, Pa? Apa? Apa Aji belum cukup besar menurut Papa sampe Papa bilang kalau Aji gak ngerti?"

Gio menunduk. Jemarinya mencengkram erat setir mobil di hadapannya.

"Aji liat Kafi nangis histeris kemarin sore, gak mau dideketin siapapun kecuali Aji, sampe tadi pagi sifatnya Kafi kayak anak kecil. Aji tau, Pa, ada yang salah. Tapi apa? Kenapa Papa masih bilang kalau Aji gak ngerti?"

Pria di balik kemudi itu masih enggan mengeluarkan suaranya. Rahangnya mengeras, wajahnya mulai memerah.

"Ada yang Papa sembunyiin? Apa?" Aji mulai memelankan nada bicaranya.

"Itu ... cuma perasaan kamu aja." Gio mulai menancap gas mobilnya.

"Seharian Aji gak fokus di sekolah, kepikiran Kafi. Aji sakit liat Kafi ditampar."

"Kalau kamu gak bisa berhenti bicara, turun sekarang juga. Pulang aja jalan kaki." Pria itu berucap dengan tegas.

Merasa terancam, Aji mengeluarkan gawainya, berniat untuk menghubungi Qila, mencari bantuan.

WasanaWhere stories live. Discover now