MARRIAGE BY TESTAMENT

15 3 0
                                    

Mila menatap tajam ke arah Arya. Bagaimana mungkin Mahesa menuliskan wasiat yang tidak masuk akal seperti itu?
Menikah dengan Bram, sahabat karib Mahesa yang memiliki selisih usia 15 tahun dengannya.
Gila!
Benar-benar gila!

"Pak Arya! Mana mungkin papa saya menulis wasiat seperti itu? Bapak jangan mengada-ada, ya!" seru Mila dengan pandangan menusuk ke arah Arya.

"Kalau kamu tidak percaya dengan ucapan saya, kamu boleh periksa sendiri." Arya menyodorkan berkas di tangannya kepada Mila. "Silakan kamu lihat. Ini asli tulisan papamu, saya tidak mungkin berbohong," sambungnya.

Mila meraih kasar berkas tersebut lalu menelitinya sebelum mendesah kasar.
"Bagaimana? Masih belum percaya?" tanya Arya.

Mila melemparkan berkas tersebut ke meja lalu menggeram, "Tapi kenapa? Kenapa Papa ngelakuin ini? Demi Tuhan, Mila masih tujuh belas tahun, masih sekolah!"

"Mila, sabar." Lelaki dewasa di samping Mila mengelus lengannya pelan, berharap dapat meredakan emosinya.

Mila menatap sedih ke arah Bram. "Kenapa Papa harus minta hal itu sih, Om? Ini benar-benar enggak masuk akal di pikiran Mila."

"Papamu pasti memiliki alasan kuat untuk semuanya, Mila," sahut Arya.
"Apa? Kenapa Papa tega nyuruh Mila nikah muda gini?

Dan kenapa harus saat Mila berusia tujuh belas tahun? Kenapa enggak setelah Mila lulus sekolah atau kuliah? Kenapa?" Mila menggeram lelah lalu menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Mila masih mau sekolah, enggak mau nikah."

"Saya tahu ini berat buat kamu, tapi percayalah, Mila, papamu pasti melakukan ini untuk kebaikan kamu. Papamu ingin ada yang menjaga kamu saat Beliau tidak lagi mampu melakukannya," ucap Arya berusaha menenangkan Mila.

Mila menyingkirkan tangan yang menutupi wajahnya lalu menatap Arya nelangsa. "Tapi kenapa harus sama Om Bram? Kenapa harus sama orang yang udah Mila anggap sebagai kakak?"

"Ini wasiat papamu, Mil. Saya sendiri tidak tahu kenapa pilihan itu jatuh pada Bram, tapi saya bisa jamin kalau pernikahan ini tidak akan seburuk seperti bayanganmu." Arya mengalihkan pandangannya pada Bram. "Saya kenal Bram seperti mengenal papamu. Saya jamin pilihan papamu tidak akan salah kali ini. Jadi, pikirkan baik-baik. Waktumu hanya tinggal satu bulan. Menikah dengan Bram dan warisan itu akan tetap jatuh padamu di usia dua puluh lima tahun atau--"

"Baik, Mila setuju! Akan lebih buruk jika warisan itu jatuh ke tangan Tante Rinjani," sela Mila, membuat senyum samar terukir di bibir Arya.
"Baik, kalau begitu kita laksanakan pernikahannya satu bulan lagi. Saya akan urus semuanya." Arya memandang Mila dan Bram bergantian. "Kalau begitu saya pamit, terima kasih atas waktu kalian," sambungnya lalu menjabat tangan kedua orang di depannya satu per satu.

Sepeninggalnya Arya, Bram menatap Mila lalu meraih Sepeninggalnya Arya, Bram menatap Mila lalu meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya, membuat manik cokelatnya menatap lelaki yang sudah merawatnya beberapa tahun belakangan.

"Saya janji akan menjaga kamu seperti apa yang diinginkan papamu."

Mila tak mampu berkata apapun, dia hanya berharap jika keputusan yang diambilnya memang benar dan yang paling penting harta peninggalan papanya tidak akan jatuh ke tangan orang serakah seperti adik tunggal Mahesa, Rinjani.

*****
"Saya terima nikah dan kawinnya Kamila Prameswari binti Mahesa Prameswara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Sudah beberapa jam berlalu, tetapi kalimat sakral itu terus terngiang di telinga Mila. Gadis itu menghela napas kasar mengingat statusnya yang kini sudah bukan lajang.
"Bodo, ah! Mikirin itu mulu bisa botak gue," ucap Mila yang tengah berada di kamar mandi.

Gadis itu segera menuntaskan kegiatannya karena hari sudah semakin larut. Malam ini adalah hari pertamanya tinggal di rumah Bram dengan status pertamanya tinggal di rumah Bram dengan status yang berbeda. Mila menghela napas panjang sebelum membuka pintu.

Ceklek.

Mila terkesiap saat keluar dari kamar mandi matanya mendapati sosok Bram yang duduk di tepi ranjang. Lelaki itu terlihat lebih segar dari beberapa jam yang lalu.

Lelaki yang mengenakan kaus putih polos dan celana rumah selutut itu melangkah pelan ke arah Mila, membuat gadis itu refleks memundurkan tubuhnya. Bram semakin mendekat hingga mengimpit tubuh Mila di dinding dengan kedua tangan yang telah mengukung, tak sadar membuat tubuh mungil itu menahan napas. Kini, jarak wajah keduanya hanya tinggal beberapa centi. Jika ada salah satu yang bergerak sedikit saja, Mila yakin sesuatu yang tidak dia inginkan akan terjadi.

Berbeda dengan Bram. Lelaki itu menatap istri kecilnya dengan instens, membuat pikiran liar di kepalanya semakin menggila. Namun, jangan salahkan dirinya. Dia pria normal, melihat penampilan Mila saat ini seketika membangunkan hasrat terliarnya.

Perlahan tangannya menyentuh pipi Mila, mengusapnya lembut kemudian merambat ke bibirnya. Bram mengusap pelan, atas-bawah secara bergantian, Bram mengusap pelan, atas-bawah secara bergantian, merasakan kehalusan dari bibir semerah delima di depannya. Mila merasakan wajahnya memanas, sentuhan Bram seolah membuatnya tidak bisa berpikir. Ini kali pertama Mila terlibat kontak fisik yang terlalu intim dengan lawan jenisnya dan itu sama sekali tidak baik untuk kinerja jantungnya.

Bram semakin mendekatkan wajahnya, membuat napas Mila terasa semakin berat saking gugupnya. Dia memiringkan kepalanya lalu perlahan semakin memajukan wajah, membuat Mila seketika menutup mata, dan ....

"Om kenapa di sini?"
Ucapan Mila kontan menarik angan Bram, membuat lelaki itu mengerjap beberapa kali.

Bego! Ngapain lo bayangin begituan sama Mila? Gerutunya dalam hati.
Hidup beberapa tahun bersama Mila dalam satu atap yang sama tak pernah Bram merasa aneh seperti sekarang. Namun, kali ini berbeda. Ia tak lagi bisa melihat Mila seperti saat mereka hanya sebatas paman dan keponakan. Mungkinkah karena status keduanya yang kini telah berubah?

Lelaki itu menghela napas dalam sebelum berdeham pelan, berusaha menetralkan debaran jantungnya. pelan, berusaha menetralkan debaran jantungnya. Sementara Mila berusaha sekuat tenaga agar tetap terlihat tenang di hadapan lelaki yang sudah menjadi suaminya. Biar bagaimana pun saat ini hanya ada mereka di dalam kamar dan kondisi dirinya yang hanya memakai jubah mandi tidak menutup kemungkinan untuk Bram menginginkan hal itu. Ingat, dia pria normal dan Mila tidak ingin dicap sebagai wanita penggoda meski tidak akan berdosa juga bila suaminya tergoda. Namun, dia benar-benar belum siap jika harus diminta menunaikan kewajibannya yang satu itu.

Bram berdiri lalu perlahan melangkah mendekati Mila.
"Ini." Bram menyodorkan kartu hitam pada Mila, membuat gadis itu mengernyit, meski tetap menerimanya.

"Ini buat apa, Om?"

"Pakai untuk semua keperluanmu. Mulai sekarang saya yang bertanggung jawab penuh atas kebutuhan kamu."

"Tapi uang di tabungan aku masih ada kok, banyak malah. Jadi, Om harusnya enggak perlu ngasih ini," ucap Mila bermaksud menolak, membuat Bram menghela napas pelan.

"Kamu sudah menjadi istri saya, Mila, dan sudah kewajiban saya untuk memenuhi segala kebutuhanmu."
Tangan Bram terulur, meraih kedua bahu Mila hingga membuatnya sedikit tersentak.

"Saya tahu ini sulit untuk kamu, tapi biarkan saya memenuhi janji kepada almarhum papamu untuk menjagamu dengan sepenuh hati. Tolong, bantu saya memenuhi amanah papamu, Mil. Kita belajar samasama."

"Kamu mau kan memulai semuanya bersama saya?"

Mila masih diam seraya menunduk, bingung harus menanggapi permintaan Bram padanya. Semua masih terasa berat untuknya.
Tak mendapat respons apapun dari istrinya membuat Bram mendesah pelan. Salahkah dia ingin memulai semuanya dari awal? Dia tahu Mila belum bisa menerima kenyataan, tetapi bukankah lebih baik mereka belajar sedari awal? Toh, ini juga amanah dari papanya.
Bram menjauhkan tubuh hendak berlalu, tetapi tibatiba suara Mila mengehentikannya.

"Mila mau," cicitnya.
Antara percaya dan tidak dengan ucapan Mila, Bram kembali mengonfirmasi. "Kamu bilang apa?"
Mila mendongak, menatap Bram.

ROMANTIC STORIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang