Part 12 || sebuah lelucon

38 4 13
                                    

"Senyum itu, senyum yang mengalihkan semua atensi yang ada di dunia"

-old promise-

sekarang ini keadaan Humaira jauh lebih baik dari sebelumnya dan besok atau lusa ia juga boleh pulang, tapi sementara waktu ini Rara harus banyak beristirahat karena tadi ia mengeluh kepalanya pusing, efek samping dari terbenturnya kepalanya.

Rara bangun ia ingin minum dan mengambil air putih yang terletak di samping brankarnya, tapi sebelum ia bangun suara Fahmi terdengar.

"Mau apa Ra? Minum?" ia hanya mengangguk lemas jujur saja kepalanya masih pusing.

Fahmi berdiri dari duduknya dan mengambilkan air putih untuk adiknya,"Ini, Abang bantu ya, bismillahirrahmanirrahim" Fahmi membantu Rara untuk minum, membantunya duduk dan menahan tengkuk lehernya untuk mempermudah ia menikmati minumannya.

Nampaknya Rara sangat haus terbukti dari air satu gelasnya telah tandas habis di minum oleh Rara, Fahmi mengembalikan gelas kosong tadi ke tempat semulanya dan kembali duduk di tempat yang ia duduki tadi.

"Mau apalagi, hm?" Tanya Fahmi seraya mengelus puncuk kepala Rara yang tertutup jilbab.

Rara menoleh mengamati setiap wajah Fahmi, dari hidung, mata, hingga bibir
Rara yakin abangnya pasti sangat khawatir dengannya, terbukti dari kantung mata yang menghitam, bibir pucat dan kumis tipis yang tumbuh di area atas bibirnya, tapi itu semua tidak berpengaruh dengan kadar ketampanan seorang Fahmi, walaupun wajahnya nampak tak terurus ia masih terlihat sangat tampan di matanya.

Rara mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi Fahmi, walaupun kondisinya sangat lemah Rara tak bisa menampik rasa rindu kepada abangnya.

"Bang," panggil Rara lirih.

"Iya? Abang di sini kamu butuh sesuatu?" Tanya Fahmi lemah lembut.

"Abang nggak marah lagi kan sama Rara?" Rara menatap sendu abangnya.

"Sssttt, nggak! Abang nggak pernah marah sama kamu, maafin abang ya sikap abang terlalu kekanak kanakan."
Rara tersenyum dan terus mengelus pipi Fahmi, Fahmi yang merasa nyaman memejamkan matanya.

"Bang Amir mana, bang?" Tanya Rara dan menghentikan kegiatan mengelus pipi abangnya.

Fahmi hanya menunjuk dengan gerakan kepala dimana Amir sedang tidur lelap di sofa yang tak jauh dari brankar.

Rara menoleh mengikuti gerakan kepala fahmi, betapa terkejutnya Rara, di sana ada nenek, kakek dan sahabatnya tetapi ia tak melihat abangnya Amir.

"Kakek, nenek, Aliya, Kristin?" Mereka yang tengah menonton televisi yang berada di ruangan tersebut menoleh ketika namanya terpanggil, tapi ia tak melihat umi dan abinya, dimana mereka? Ah, sekarang Rara baru ingat setelah memanggil paman Andri untuk memeriksa keadaannya, umi dan abinya pergi keluar sebentar untuk membeli makanan.

Mereka semua tersenyum dan menghampiri Rara yang berada di brankar.

"Kakek sama nenek ke sini kapan?" Tanya Rara yang terlihat sangat bahagia ketika mengetahui ada nenek dan kakeknya.

"Kemarin sebelum kamu sadar," jawab kakek Abasyi.

"Kakek sama nenek ke sini naik apa? Di jemput umi dan abi?" Tanya Rara lagi.

"Abi ke sini naik jet pribadi milik abi kamu, kemarin abi kamu ngabarin nenek sama kakek kalau kamu kecelakaan, kakek suruh abi kamu menjemput kakek nenek dengan jet pribadinya." sekarang nenek Jaeda yang menjelaskannya.

"Kalau nenek sama kakek ke sini, pesantren siapa yang ngurus?" Tanya Rara lagi, banyak tanya lu Ra ah, kayak wartawan aja.

"Ya Allah cucuku kok Yo cerewet e poll, persis koyok Bagas tenan," (Ya Allah cucu ku kok ya cerewet banget, mirip sekali dengan Bagas) ucap nenek Jaeda seraya mencubit pipi cucu nya dengan gemas, sang empunya hanya cengengesan saja. Setelah itu nenek dan kakek kembali duduk di sofa.

Nikah Dadakan [Mager Ngelanjutin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang