Kotak sampah itu bisa berbicara.
Dia mengeluh kenapa banyak sekali murid-murid membuang sampah di jalan padahal dia sudah berdiri di tengah-tengah kerumunan. Apa keberadaannya tidak dianggap? Atau mereka terlalu enggan menyentuh kotak itu?
Tapi, kan, dia kotak sampah. Berguna untuk menampung segala jenis sampah sampai petugas kebersihan mengangkut semua sampah tersebut ke mobil. Kenapa mereka mengabaikannya?
Dibanding kotak-kotak sampah yang lain, hanya kotak itu yang buruk rupa. Penutupnya yang sudah retak-retak. Tangkai penopangnya yang berkarat. Juga warna badannya yang memudar karena siang-malam disengat mentari dan disiram air hujan.
Mungkin karena itulah orang-orang tidak mau membuang sampah di situ. Jika rusak, mereka akan dituntut ganti rugi. Mereka pasti memprioritaskan tindakan mencegah yang dirasa tak perlu.
Kotak sampah itu bisa berbicara.
Dia hanya ingin digunakan. Hanya karena umurnya sudah tua, penduduk mengabaikan fungsinya karena tidak mau membuang uang.
Kotak sampah itu bisa berbicara.
Dia bilang, dia hanya ingin 'dilihat' tanpa memandang fisik. Selagi dia masih bisa digunakan, kenapa diabaikan?
Aku ingin berbicara, kenapa Ibu tidak mau menyuruhku melakukan ini-itu sementara kakak-kakakku bekerja? Padahal aku bisa membantu Ibu mengangkat barang. Tetapi Ibu hanya menyuruhku diam menonton.
Apa Ibu menyayangiku? Tidak. Beliau takkan melarangku jika menyayangiku.
"Ibu, biarkan aku membantumu."
Ibu menatapku sinis. "Anak cacat sepertimu bisa apa? Jika kau jatuh dan kenapa-kenapa, uang bulan ini harus habis untuk biaya pengobatanmu. Sudahlah, kau diam dan duduk saja. Aku tidak membutuhkanmu."
Aku menundukkan kepala, menatap kedua kakiku yang utuh namun tak bisa digerakkan.
Ah, karena ini rupanya. Ibu tidak menyayangiku. Dia hanya tidak mau mengeluarkan pengeluaran. Salahku juga cacat di usia segini.
"Haaah," Ibu melepas rasa lelah. "Kenapa nasibku seperti ini? Ditinggal suami, mempunyai anak tiga, dua berguna dan satu tidak. Membanting tulang untuk membesarkan mereka dan pengobatan si bungsu. Inikah keberuntunganku?" Ibu menoleh kepadaku. "Jika kau tidak ada, kakak-kakakmu sekarang sudah di luar negeri untuk kuliah dan bekerja menghasilkan uang untukku. Mereka terhambat karenamu."
Siapa yang meminta Ibu melahirkanku?
Jika aku hanya penghambat studi Kak Jun dan Kak Rio, kenapa Ibu melahirkanku yang tidak berguna ini? Siapa yang salah sekarang.
Aku tidak tahu. Apa itu salahku? Tapi, aku tidak menyuruh Ibu untuk mengandungku kok.
Ibu menghela napas pendek, memotong-motong kulit daging. "Melahirkanmu adalah kesalahan. Harusnya aku tidak serakah waktu itu. Dua saja sudah cukup. Atau kau mau menjual diri, hmm? Ibu sangat membutuhkan uang. Ibu kenal bar tempat tante-tante cantik. Kau bisa memuaskan nafsu mereka di sana."
"Lebih baik aku cacat selamanya daripada melakukan itu," ucapku mendengus.
"Lihatlah gaya bicaramu, Gadis Gila. Aku sakit-sakitan untuk membiayai terapimu, tetapi kau sama sekali tidak membantu. Apa kau tidak malu dengan kakak-kakakmu? Mereka berguna. Mereka bisa menghasilkan uang untukku. Tapi kau?" Ibu menghela napas jengah, kehabisan kalimat untuk menasehatiku. "Aku benar-benar menyesal melahirkanmu."
Itu bukan salahku, oke?
Aku takkan menangis karena semua perkataan Ibu benar. Aku memang anak tidak berguna yang hanya merepotkan beliau.
YOU ARE READING
Cermin Ajaib [KUMCER]
Short StoryAku mendapatkan sebuah cermin ajaib saat bersih-bersih di gudang. Cermin itu menjawab semua pertanyaanku. Siapa yang paling cantik? Ia menjawab Snow White. Gaun yang paling indah di dunia? Ia menjawab Cinderella. Pasangan mana yang paling menyakitka...