Pergi, Pergi

293 87 51
                                    

"Buat apa kau berjanji kalau ujung-ujungnya kau ingkari? Lebih baik pergi saja dan jangan kembali. Jangan membuatku berharap lebih."

"Rei, dengarkan aku dulu."

Aku menulikan telinga, melempar plastik sampah ke tempat pembuangan, bergegas kembali ke rumah. Sudah sejak tadi aku menahan air mataku agar tidak tumpah.

"Rei!" Nalu menahan tanganku. "Kau serius memperlakukanku seperti ini? Aku akan berangkat besok, Rei."

"Lepas!" bentakku menepis tangan Nalu. "Aku tidak peduli. Pergi saja kau sana."

"Rei ...."

Baru kemarin rasanya aku dan Nalu berteman. Baru kemarin rasanya akhirnya aku bisa menyesuaikan diri di lingkungan baru. Baru kemarin rasanya aku mempunyai teman setelah setahun homeschooling. Kenapa Nalu harus pindah secepat ini?

Aku menghadap ke depan, menatap Nalu. "Apakah kau tidak bisa tinggal? Kau sendiri yang bilang padaku kita teman selamanya. Kau sendiri yang bilang kita akan berteman sampai mati. Kenapa sekarang kau mengingkari perkataanmu sendiri? Kau pembohong."

Kumohon, bilang bisa. Aku tidak bisa jika kamu tidak ada di sisiku, Nalu!

"Aku juga tidak mau," gumam Nalu berkaca-kaca. "Tapi Ayahku keras kepala ingin pindah. Aku bisa apa?"

Aku menatap kecewa. Sepertinya Nalu benar-benar tidak bisa tinggal bersamaku. Dia tidak salah. Yang salah orangtuanya! Kenapa mereka harus pindah ke kota lain? Kenapa tidak dekat-dekat sini? Paling tidak aku bisa menemui Nalu.

Kenapa harus jauh? Mereka mau menjauhi Nalu dariku? Kenapa? Apa salahku?

Nalu menoleh ke belakang. "Sepertinya Ayah memanggilku. Aku duluan—"

Aku menarik ujung kemeja Nalu, menatap berbinar. "Jangan pergi. Jangan tinggalkan Rei. Nalu teman pertama Rei di sini. Rei akan melakukan semuanya asal Rei bisa bersama Nalu."

Nalu tidak tega.

Nalu tersenyum, memegang kedua tanganku. "Rei sayang sama Nalu, kan?"

Aku mengangguk.

"Rei ingin bersama Nalu terus, kan?"

Aku mengangguk.

"Kalau begitu, mari kita bermain sepuasnya besok!" ajaknya tersenyum lebar.

"Apa gunanya kalau akhirnya Nalu pergi?" sanggahku cemberut. Bersiap menangis. Eh, aku memang sudah menangis.

"Rei tidak mau?" Nalu menelengkan kepala. Ukh, dia imut sekali.

"Mana mungkin Rei menolaknya!!"

Pada akhirnya, besok pagi, aku pergi bersama Nalu ke taman bermain. Kami sepuasnya memainkan wahana-wahana yang ada di taman itu. Ini sangat menyenangkan, sungguh. Bermain bersama teman pertamamu, bukankah terdengar seru?

Kami naik bianglala, bermain tembak-tembakan berhadiah, tangkap ikan, masuk rumah hantu, Rollercoaster, dan kora-kora. Semuanya kami mainkan. Tanganku penuh dengan cenderamata dan boneka yang dimenangkan oleh Nalu.

Aku memang masih sepuluh tahun, tapi aku pernah melihat adegan ini di TV. Saat dua orang lawan jenis saling bersenang-senang di suatu tempat. Mereka menamainya "kencan".

Bibirku melukiskan sebuah senyuman kecil, menatap Nalu lamat-lamat. Dia sedang fokus melempar koin.

Apakah aku bisa menyebut ini kencan?

Habisnya, aku deg-degan dari tadi.

"Yah, aku gagal." Nalu mengembuskan napas kasar. "Kita pergi ke kios lain aja yuk!"

Cermin Ajaib [KUMCER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang