Tersenyumlah Astrea

148 47 22
                                    

Ibu macam apa yang membunuh senyum anaknya sendiri?

Jika kau bertanya, maka itu adalah aku.

Dari mana semua ini dimulai? Oh, benar. Aku menyukai pria biasa pemain basket jalanan dan dia juga menyukaiku. Hubungan itu bertahan sampai bertahun-tahun lamanya tanpa melirik orang lain.

Saat umur kami sudah memasuki usia matang untuk menikah, lelaki yang kucintai itu melamarku dengan suasana amat sederhana. Itulah salah satu poin yang kusukai darinya. Dia terlalu sederhana namun tulus.

Kami pun menikah di pondok kecil yang sudah dihiasi olehnya sedemikian rupa. Pernikahan kecil-kecilan nan sederhana, tetapi melekat di hatiku. Bahkan sampai sekarang pun aku masih bisa merasakan momen pertukaran cincin seolah baru terjadi kemarin.

Dua bulan setelah menikah, aku pun mengandung putra. Berita gembira yang menyejukkan keluarga kecil kami. Pria yang kucintai merawatku amat telaten, melarangku bekerja, menyayangiku sepenuhnya—juga anak kami tentunya.

Suami dambaan. Aku sangat mencintainya. Bagaimana mungkin dia bekerja di kantor sekaligus mengurusku sama sekali tidak membuatnya kelelahan?

"Karena senyummu sumber semangatku, Wona. Kebahagiaanmu membuatku over power," candanya tersenyum lebar, mengecup keningku.

Dan sembilan bulan kemudian, aku melahirkan. Suara tangis bayi yang membuat air mataku mengalir. Air mata kebahagiaan.

Setelah berdebat singkat soal nama, kami pun sepakat memberi nama 'Astrea'. Nama yang pas untuk seukuran anak laki-laki. Aku bangga, juga suamiku. Astrea bayi yang sehat.

"Kelak dia akan jadi sukses seperti Ibunya," gumamku memulai perdebatan.

"Kau bercanda, Wona? Tentu dia akan menuruti karir Ayahnya!" Suamiku tidak mau kalah. Lucu. "Lihat hidungnya, mirip denganku!"

"Oh, ya? Aku yakin dia mengikuti gen kepintaran Ibunya." Aku terkekeh kecil.

Berbulan-bulan berlalu. Dengan kesabaran dan kehangatan, kami berdua membesarkan Astrea menjadi anak baik dan melatihnya tidak melakukan perbuatan jahat. Kami mendidiknya sebisa mungkin.

Bulan berganti menjadi tahun. Astrea memiliki ketampanan Ayahnya dan memiliki kepintaranku. Astaga, kombinasi yang mengagumkan.

Lalu 8 tahun kemudian, tiba hari ulang tahun Astrea. Astrea sudah menolak halus agar kami tidak merayakannya.

"Diucapkan saja sudah membuat Astrea senang, Yah, Bu. Terima kasih." Begitu ucapnya. Duh, aku senang sekali dengan kepribadian Astrea. "Astrea tidak mau merepotkan kalian."

"Tidak apa, Nak, kami sudah merencanakan jauh-jauh hari tentang ini."

"Eh?" Astrea mengerjap.

Aku mengeluarkan kue yang sudah kami siapkan sejak tadi. "Kejutan!!!! Selamat ulang tahun, sayang!"

Astrea tertegun menatap kue di depannya, berkaca-kaca. Dia tersenyum getir. "Terima kasih. Astrea sangat bahagia."

Kami adalah keluarga yang bahagia. Saling mencintai, menyayangi dan menjaga satu sama lain. Memancarkan aura keharmonisan yang besar.

Tapi, itu dulu.

Sekarang tidak.

Sekarang semuanya sudah retak dan hancur.

Tidak ada lagi senyum bahagia.

Tidak ada lagi keluarga bahagia.

"Tunggu, itu salahku? JELAS-JELAS SALAHMU!" bentakku dengan suara tinggi, tak peduli ada Astrea di rumah. Aku sudah tidak peduli. "KAU KELUYURAN DAN PULANG MALAM TANPA MEMBERI KABAR!"

Cermin Ajaib [KUMCER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang