Chapter 50

2.8K 177 57
                                    

Tatapan Elora yang tertuju pada jurnal di atas mejanya terasa kosong. Dia masih memikirkan ucapan Wilda beberapa saat yang lalu. Tidak pernah sedikit pun terlintas dipikiran Elora jika Wilda akan mengatakan hal tersebut. Kendati Ibunya tahu bahwa Edward menderita Bipolar Disosder. Tidak sepantasnya dia disamakan dengan Malik yang normal.

Mendengar ketukan pintu dari luar, Elora pun bangkit dengan tidak antusias. Namun ketika dia melihat siapa yang datang, kedua mata Elora langsung berbinar dan bibirnya membentuk lengkungan.

"Hai." Sapa Edward dan Elora langsung berhambur masuk ke dalam pelukanya. Sikap gadis itu tidak seperti biasanya. Edward bisa merasakan perubahanya yang sedikit manja sejak kemarin malam. "Ada apa, Elora?"

"Tidak. Aku hanya rindu."

"Rindu? Kita baru bertemu tadi pagi saat aku mengantarmu kemarin." Edward tersenyum miring melihat ekspresi Elora yang berubah cemberut. "Jangan cemberut begitu. Jelek!"

"Kau membawa makanan?" Elora melirik tangan Edward yang menggenggam sebuah kantung plastik. Lantas dia melirik jam tanganya dan melihat waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Dia menepuk dahinya pelan. "Astaga! Ini bahkan sudah jam makan siang dan aku tidak menyadarinya."

"Kau banyak pekerjaan?" Tanya Edward ketika masuk ke dalam ruangan Elora dan menutup pintu di belakangnya.

"Tidak."

"Lalu ada apa? Kau tampak banyak pikiran."

"Aku hanya sedikit sebal pada Ibu, Ed."

Edward menepuk sofa di sebelahnya meminta Elora untuk duduk. Namun bukannya duduk di atas sofa, Elora malah mendudukan dirinya di atas paha Edward sambil memeluk leher pria itu. Lagi, Edward merasakan sikap Elora yang tidak seperti biasanya.

"Apa yang mengganggu pikiranmu? Ceritakan padaku! Kau sudah sering mendengarkanku sekarang giliranku."

"Jangan marah ya?"

"Kenapa aku harus marah?" Melihat Elora masih menunggu jawaban, Edward pun menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan marah."

"Janji?" Tanya Elora was-was.

"Ya, janji! Ayo ceritakan."

"Ibu mulai membanding-bandingkanmu dengan Malik. Dia merasa jika kau tidak becus menjagaku sehingga aku bisa terserempet mobil. Aku tau dia mengkhawatirkanku tapi dia terlalu berlebihan. Kau dan Malik berbeda, tentu kalian tidak bisa disamakan." Elora melihat ekspresi Edward berubah datar. Rahangnya mengeras dari sebelumnya. "Maksudku, setiap manusia diciptakan tidak sama kan...—Uh, katanya kau tidak akan marah?"

"Aku tidak." Edward memajukan wajahnya untuk mengecup bibir Elora berkali-kali. Gadis itu terkekeh pelan dibuatnya. "Aku dan Malik memang berbeda. Aku pacarmu dan Malik hanya mantanmu. Sudah jelas aku menang untuk apa aku marah?"

Elora tersenyum. Pipinya mendadak panas dan suasana hatinya menghangat akibat kalimat yang lebih mirip rayuan dari Edward. "Kau sudah banyak berubah, Ed. Aku senang melihat perkembanganmu. Kau tidak mudah meledak seperti dulu walau masih sering mengalami mood swing."

"Semua ini karena bantuanmu juga, El." Katanya sembari mengeratkan pelukanya pada pinggang Elora untuk menenangkan dirinya sendiri. Apa yang Elora ucapkan tentu tidak bisa Edward abaikan begitu saja. Dia memang selalu minder jika disamakan dengan Malik. Terlebih lagi calon mertuanya yang mengatakan hal tersebut. Namun Edward berusaha menunjukan jika dia baik-baik saja. Elora sudah cukup tertekan akan situasi ini dan dia tidak ingin menambahnya dengan cara meluapkan emosi. "Sudalah, jangan dipikirkan lagi. Ibumu hanya sedang khawatir makanya dia berbicara seperti itu."

"Aku juga berharap demikian, Ed. Semoga semuanya baik-baik saja."

Edward mengangguk kemudian melirik kantung plastik di atas meja. "Aku membeli dua makaroni schotel dan jus semangka. Kau ingin makan di pangkuanku?"

THE DEPRESSIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang