21 ~ Bersama Ayah

861 129 2
                                    

Ada rindu yang menjadi obat.
Ada rindu yang menjadi candu.
Dari segenap rasa yang hadir,
rindu memang lebih dominan.
Tetaplah merindu!
Hingga rindu itu tak lagi membelenggu
(Nararya Tirtakusuma)

🍃🍃🍃

Dalam setiap minggunya, Arya selalu pulang kampung. Melepas segala rindu dengan sang ayah dan tak lupa juga berkunjung ke makam sang bunda. Kebiasaan ini adalah hal rutin yang selalu dilakukan oleh Arya.

Ada masa di mana Arya merindukan sosok sang bunda. Namun, semuanya masih bisa dikendalikan dengan baik. Jika rindu itu melandanya, dia akan mengajak sang ayah untuk berkunjung ke makam, atau sekadar berjalan-jalan berdua.

"Yah, kalau setiap pagi kita bisa jalan-jalan begini, enak banget. Arya bisa isi ulang tenaga setiap hari."

"Kalo jalan-jalannya tiap pagi, itu Ayah yang main ke tempatmu apa kamu yang pulang tiap hari? Terus kuliahnya gimana?" tanya Ayah Ris.

"Bisa cuti dulu, Yah!" jawab Arya lancar.

"Cuti aja kalau memang mau," tawar sang ayah.

Arya menggeleng dan menjawab, "Kalau Arya cuti, si Aren bakal menang taruhan dan Arya bakal jadi kacung selama tiga bulan penuh. Nggak mau, Yah. Enaknya di Aren senep-nya di Arya," elak Arya.

"Kalian ini main taruhan gitu,  dosa, loh! Taruhan itu nggak boleh."

"Mau gimana lagi? Terlanjur basah, ya, sudah mandi sekali!" jawab Arya sambil sedikit berdendang.

"Jangan diteruskan, buat suatu persaingan itu tanpa ada yang dipertaruhkan. Apa bedanya dengan judi? Sama-sama mempertaruhkan sesuatu. Bersaing saja secara sehat. Gimana?"

Arya menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan mengangguk mendengar ucapan sang ayah. Paginya kali ini terasa sangat bermanfaat saat berbincang dengan sang ayah. Menemukan beberapa pemahaman lagi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan.

🍃🍃🍃

Setiap pulang, Arya beberapa kali mendapati ayahnya selalu berurai air mata saat salat malam. Arya yang hapal dengan kebiasaan sang ayah diam-diam selalu mengikuti kegiatan sang ayah di sepertiga malam.

Begitu Ayah Ris keluar kamar dan menuju musola di sisi kanan rumah, Arya bak pencuri yang mengendap perlahan mengikuti sang ayah. Pelan hingga tak ada suara yang dia timbulkan dan menarik perhatian ayahnya.

Arya akan duduk di teras musola. Mengabaikan rasa dingin yang meresap ke dalam tulangnya. Menit-menit berlalu dia terus saja menatap punggung sang ayah yang mulai bergetar. Sebelumnya, Arya mengamati setiap gerakan salat sang ayah.

Sujudnya tampak lebih lama. Entah doa apa yang dipanjatkan selama sujud. Doa-doa setelah salat malam juga terasa lebih panjang dari sebelum-sebelumnya. Arya bergidik ketika angin menampar kulitnya.

"Kenapa cuma nunggu Ayah di luar? Di situ dingin, Le, sini temani Ayah!" panggil Ayah Ris saat mendapati Arya yang duduk di teras musola.

Ternyata kegiatannya kali ini disadari oleh ayahnya. Mau tak mau Arya beranjak dan menemui sang ayah. Duduk di sebelah ayahnya  dan menatap dalam manik mata lelaki yang sudah membesarkannya.

"Arya penasaran, doa apa yang dipanjatkan Ayah sampai sujudnya lebih lama, doanya juga lebih lama dari biasanya."

"Kenapa penasaran? Ada saja doanya, kalau Ayah sebutkan nanti nggak special lagi," ujar sang ayah.

"Yah, Arya nggak keberatan kalau misalnya ayah ingin menikah lagi. Arya selalu saja kepikiran, takut Ayah kesepian selama Arya kuliah."

"Kamu pengin punya ibu baru?"

Vana Ilusiòn ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang