#4. Kejadian di bioskop.

1K 388 66
                                    

Semalam setelah Teh Redia menebak kalau saya adalah Deden, saya putus sambungan teleponnya. Pertama, saya patah hati. Kedua, saya patah hati. Ketiga, saya patah hati.

Kebetulan besoknya adalah hari Minggu, saya sama Deden mau lari, olahraga. Awalnya dia ajak lari tanpa kasih tau mau kemana, lalu saya ajakin ke Saparua malah gak mau! Di yang dekat-dekat saja katanya. Kami memutuskan beli bubur dulu ditempat biasa. Masih sekitar jam setengah tujuh pagi.

"Tiris." kata Deden yang artinya dingin sambil memeluk dirinya sendiri dan gemetaran.

"Langka mandi sih."

Deden natap saya malas, saya ha ha he he.

Minggu pagi itu saya jadi meragukan tukang bubur (soalnya ini sekitar jam tujuh pagi) tapi Teh Redia beli bubur waktu saya dan Deden selesai makan. Saya gak lihat waktu dia jalan menuju kesini.

"Pagi, Teh." sapa saya.

Awalnya dia gak langsung menoleh, dia kelihatan ragu-ragu. Tapi akhirnya dia menoleh sambil balas,

"Pagi."

Sewaktu dia bilang begitu, saya senyum ke arahnya. Lalu dia balas. Geulis pisan. Bubur punya dia masih dibikin, jadi saya nanya lagi.

"Teh,"

Dia balik badan, "Iya?"

"Nama saya siapa?" tanya saya.

Dia diam, di waktu yang bersamaan Deden ikut menoleh juga ke saya. Lalu saya lihat bola mata Teh Redia melirik dulu ke Deden lalu ke saya lagi.

"Gak tau." jawabnya.

"Kalo ini?" saya nunjuk Deden.

"Deden." katanya.

"Kalo saya?" saya tanya lagi.

"Gak tau."

"Ya udah kenalan dulu atuh biar tau." saya mengulurkan tangan kanan.

Dia kelihatan ragu-ragu tapi akhirnya menjabat tangan saya.

"Aril."

"Redia."

"Saya bukan Deden." kata saya.

Begitulah awal saya berkenalan dengan Teh Redia secara resmi. Entah bagaimana perasaan Teh Redia saat itu karena kalau saya, senang. Senang juga bahwa yang harus saya lakukan sisanya tinggal menjadikan dia sebagai pacar saya!

Tapi seperti yang tidak saya duga mendekati Teh Redia tidak jadi mudah. Tidak cukup Deden bela-belain bantuin saya kalau pulang sekolah kita muter jalan intinya biar melewati rumah Teh Redia. Juga karena saya tau dia ada di rumah karena setau saya Teh Redia tidak kuliah, tidak juga bekerja.

Serius, di waktu-waktu saya mendekati dia saya sebetulnya iri sebab tiba-tiba saya pengen berubah jadi Teh Widi (intinya asal bisa dekat dia). Saya pernah telepon dia dua kali setelah kenalan secara resmi, tapi Teh Redia seperti malas menanggapi. Saya gak menyerah, saya menjeda diri beberapa hari. Ditambah saya takut Teh Redia ngeri kalau saya terus-terusan menampakan diri.

Pada suatu waktu saya pergi dengan teman-teman kelas ke salah satu taman hiburan yang sebetulnya populer disebut bioskop misbar alias gerimis bubar sebab area bioskop tidak beratap. Hari itu pertama kalinya saya gak senang mengetahui bahwa Teh Redia juga ada disana.

Sebab Teh Redia datang dengan Deden.

PANASEA 1996Where stories live. Discover now