#6. Salah menilai.

967 363 57
                                    

"Makasih, ya."

"Iya, sama-sama."

"Diminum dulu atuh, pasti capek ngejarnya."

"Makasih." selanjutnya saya minum air yang disuguhkannya.

Waktu itu perasaan saya entah kenapa, saya tiba-tiba ingin memiliki perempuan yang namanya Redia secara seutuhnya. Memang lebay tapi itu betulan. Saya ingat waktu itu rumahnya cat putih, ruang tamunya juga cat putih dengan kursi sudut L.

"Teh."

Dia gak menjawab, dia cuma menoleh sambil menggendong Piki (nama kucing kuningnya).

"Teteh suka sama Deden?" tanya saya.

Saat itu tiba-tiba Teh Redia kelihatan kaget. Sekaligus kelihatan panik takut ada yang dengar selain saya dan dia.

"Hahaha, apa..." jawabnya kaku.

"Suka?" tanya saya, dia semakin kelihatan panik.

Benar saja, karena dia menjawab dengan telunjuk ditempelkan di bibir. Entah keberapa kalinya, saya patah hati lagi. Saya berdiri saat itu juga.

"Saya mau pulang dulu." saya langsung keluar.

"Aril!"

Tuh 'kan, dia menahan saya kayak di sinetron. Tentu saya berbalik juga.

"Ini tahu ketinggalan." katanya.

"Oh iya, lupa." saya menerima uluran kresek tahu saya waktu itu. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Saya keluar dari pagar rumahnya, tapi saya berbalik lagi.

"Teh."

Dia gak menjawab dan masih berdiri di tempatnya berdiri.

"Saya suka sama Teteh."

Setelah bilang begitu saya langsung pergi. Antara memang mau sok keren dan memang saya deg-degan betulan. Padahal begitu pulang ke rumah, saya sendiri yang kepikiran.

Lalu meskipun saya patah hati, saya tetap mau memiliki Teh Redia. Sampai saya mulai berpikir cara yang maksa. Saya ngajakin Deden main, tentu saya menjadikan itu sebagai cara biar hubungan dia dan Teh Widi balik lagi. Saya bilang ke Deden saat itu kalau saya sudah ngajakin Teh Widi padahal belum sama sekali. Tentu saya minta Deden yang ajakin Teh Redia tapi saya bodoh karena,

"Atuh Teh Widi juga pasti ngajakin Teh Redia, Ril."

Tapi saya bilang gak apa-apa ajakin lagi saja. Karena Deden memang cowok lempeng akhirnya dia iya-iya saja, dan setelah diajak tentu Teh Redia mau. Karena gak mau berbohong banyak ke Deden saya ngajakin Teh Widi setelahnya tapi ternyata Teh Widi gak bisa hadir pada hari yang saya tentukan.

"Aku ada acara di kampus."

Sampai akhirnya pada harinya, Deden kelihatan bingung karena Teh Widi gak ada, begitu pula dengan Teh Redia.

"Aku gak ngobrol apa-apa sama Widi soalnya kata Deden 'kan mau ikut." jelas Teh Redia waktu Deden mempertanyakan cewek yang ditaksirnya.

Saat itu Deden seperti curiga ke saya. Hari itu dia gak banyak bicara sampai akhirnya ketika pulang dia bilang,

"Kalo butuh dibantuin bilang aja langsung, Ril. Jangan kayak gini caranya."

Betul, Deden betul. Saya sebagai teman sudah salah menilai dia. Saya memperalat Deden seolah-olah kalau saya minta bantuan dia gak bakal bantuin. Padahal selama ini Deden selalu ada buat saya.

"Maaf, Den."

Namun bukan begitu juga masalahnya. Saya saat itu tau kalau Teh Redia suka sama Deden. Jadi meskipun pada kenyataannya Deden bantuin saya, Teh Redia tetap gak lihat saya.

"Teh Redia sukanya sama kamu, Den." saya bilang ke Deden waktu itu.

"Ari sia mikir teu?" tanyanya.
Lu mikir gak, sih?

Saya diam.

"Kalo emang mau ke Teh Redia, ya usaha aja dulu. Perasaan mah gampang berubah, Ril. Belegug maneh mah. Kalo Teh Redia suka sama aku, harusnya kamu jangan ngajakin aku kalo tujuannya pengen berduaan, Ril." jelasnya panjang lebar.

"Ya aku gak tau gimana ngajakin dia kalo cuma berdua, Den?!"

"Ya itu baru namanya usaha!"

Betul, Deden betul lagi. Saya pikir saya sudah cukup berusaha waktu itu, padahal belum.

PANASEA 1996Where stories live. Discover now