10

15.3K 2.7K 268
                                    

jeno memijat pelan keningnya, sebelum menekan pelan bel pada pintu bernomor seribu limaratus tujuhpuluh di hadapannya.

benar, saat ini ia berada di depan apartemen mark. membawa laptop serta beberapa buku referensi yang tetangga sekaligus asisten dosennya itu perintahkan.

"cari buku-buku ini di perpustakaan. aku ada kelas sebentar. setelah itu, kita pulang bersama. datang ke apartemenku."

begitu ucap mark sambil menyerahkan kertas sobekan kecil berisi judul-judul buku saat mereka bertemu di parkiran kampus.

jeno mendengus keras mengingat percakapan mereka tadi. cih, berani sekali menyuruh-nyuruhnya. memangnya ia budak?

kesal karena sang pemilik apartemen belum juga membukakan pintu, akhirnya ia menekan-nekan bel tersebut berulang kali dengan gerakan kasar.

"sabar! astaga, na jeno benar-benar!" seruan itu terdengar dari dalam sana. jeno memundurkan tubuh, sudah bersiap dengan serangan yang akan mark berikan.

tak lama, pintu terbuka. kembali menampilkan pemandangan mark dengan rambut basah dan tubuh yang hanya terbalut celana panjang rumahan.

pemuda lee itu menatapnya dengan dahi berkerut sembari mengeringkan rambut dengan handuk.

cengiran tak merasa bersalah jeno tampilkan untuk sang pemuda. "habis kau lama sekali membukanya," rajuknya lalu memajukan bibir bawahnya. "padahal aku itu tamu, tapi justru aku yang disuruh menunggu."

"masuk." mark tak membalas. hanya membuka pintu semakin lebar sebelum berjalan ke dalam apartemennya, meninggalkan dirinya yang mengekor di belakangnya.

jeno berdecak, memandang punggung polos mark dengan rasa sebal yang kentara.

"setidaknya bantu aku membawa buku-buku ini, kak mark!"

"ternyata kau ini cerewet juga."

mark berbalik, segera mengambil alih buku-buku di tangannya. handuk biru tuanya ia biarkan menggantung di bahu kirinya. memberi seulas senyum tipis pada dirinya yang menyipitkan mata, tak senang.

"sisi barumu yang kembali aku ketahui."

....


"jadi, beritahu aku alasanmu menyuruhku ke sini."

"tentu saja untuk menghukummu."

sontak, jeno membuka kedua matanya lebar-lebar. "aku sudah mengumpulkan tugasnya, kak!"

"iya, aku sudah baca. profesor kim juga sudah mengirim laporanmu padaku." mark mengacak pelan rambutnya yang masih setengah kering, lalu mulai menyalakan laptopnya. "laporanmu memang bagus, tapi jangan harap kau akan bebas dari hukuman, na jeno."

"iya iya." ia berdecak kecil. ikut menyalakan laptop. memberi senyum sok tulus pada pemuda yang lebih tua. "jadi, apa hukumanku, kak mark baik hati?"

ada hening sejenak di dalam ruangan persegi itu, yang diam-diam membuat jeno sedikit takut. tidak mungkin ia disuruh menjadi asisten dari asisten dosen kan?

namun, jawaban yang keluar dari belah bibir mark lebih membuatnya terkejut.

"ikut lomba esai."

"apa?!" sembur jeno dengan mata kembali melotot. tak sadar akan tatapan tajam mark. "maksudnya, kenapa aku?!"

asisten dosen itu menggelengkan kepala, mencoba memahami respon berlebihan darinya.

"kau pasti tahu jika selama ini nilai teori dan praktekmu paling tinggi di satu angkatan. esaimu juga selalu bagus, jadi aku pikir tidak ada salahnya untuk memintamu ikut lomba tersebut."

"aku menolak. aku tidak mau, kak."

"ini hukumanmu. hukuman harus dijalankan, bukan?"

jeno merengut. tidak suka ketika mark mengangkat salah satu alisnya dengan tinggi diiringi tatapan serius yang, jujur, membuat nyalinya sontak menciut.

"lagipula, sejak lama profesor kim ingin kau ikut lomba seperti ini, tapi kau selalu menolak. beliau lalu memintaku untuk mengajakmu. aku pikir, bukankah ini kesempatan bagus—kau mendapat hukuman, dan hukumannya berupa lomba ini."

"ah, menyebalkan. aku sungguh tidak mau ikut lomba, kak."

jari-jari mark bergerak menyisir rambut basahnya ke belakang, sebelum menatapnya dengan ekspresi penuh kesabaran.

"jangan sia-siakan kepintaranmu, jeno. aku tahu dan percaya kau mampu."

jeno menggeleng pelan, memberi tatapan memelas yang biasanya berhasil untuk membuat orang lain luluh. ia memajukan bibir bawahnya, lagi.

"kak," rajuknya.

helaan napas panjang terdengar. mark mengulum senyum tipis sebelum membuang pandangan. "ikut saja, okay? menang atau kalah itu urusan Tuhan."

dalam hati jeno berdecak kesal karena triknya gagal. ia kembali memasang wajah sombong. wajah yang selalu ia tampilkan setiap mark ada di hadapannya.

"kalau kakak percaya padaku, kenapa aku harus datang ke sini? aku bisa membuat esaiku sendiri."

"kau tidak lupa kan kalau aku pemenang lomba esai tahun lalu?"

"ah, benar."

jeno menghela napas kasar. bagus, segala usahanya gagal. beban di pundaknya terasa berat sekarang.

ia menggigit bibir, berusaha menahan frustasi yang menggerogoti pikirannya. namun, sebuah tepukan pelan di pucuk kepalanya membuat semua ragu, kesal, kalut, dan ketidakpercaya dirian dalam dirinya mendadak hilang.

netra badamnya mengerjap, memandang mark yang tersenyum lembut kepadanya dengan perasaan bercampur aduk.

tangan pemuda lee itu bergerak mengusap helaian rambutnya, membawa dirinya pada sebuah ketenangan yang bahkan ia tak sadari ada di sana.

mark menatapnya. berujar dengan suara yang lebih hangat dari segelas susu cokelat.

"aku yakin padamu, jeno."

the warmest things i've foundWhere stories live. Discover now