⭕Kuda nil berulah⭕

174 24 0
                                    

  Kini, kami sedang berada di dalam bis. Jujur, gue rada-rada mual gitu kalau nyium bau AC. Makanya, gue setiap naik mobil atau bis biasanya selalu duduk di samping jendelanya, biar kurang rasa mual itu. Dari tadi gue cuma dengerin musik pakai earphone, sedangkan yang lain pada nyanyi-nyanyi. Masih mending jika suaranya merdu, lah, ini kek tikus kejepit di jendela.

  Kamu tak mau melihat diri ini ...
Selamanya ...

  "1 ...2 ...3 ...!"

  Huwoooo ...

  Awas ...nanti jatuh cinta ...

  Cinta kepada diriku ...

  Jangan-jangan kau jodohku ...

  Kamu terlalu membenci ...

  Membenci diriku ini ...

  Awas nanti jatuh cinta kepadaku ...

  "LAGU CITA-CITATA ...!"

  Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku ...sakitnya tuh di sini ...

  "Woi, lo pada bisa diem nggak?!" Kesal gue, bangsul emang, mau tidur aja nggak bisa.

  "Lo lagi dapet, Ze?"

  Pandu tertawa terpingkal-pingkal, wah-wah minta di sleding pala Pandu, nih. Siapa juga yang kena dapet, wang gue awal bulan biasanya yang kena.

  "Zeze sensian awokawok!" Lagi-lagi Vino asal nyolot aja. Kenapa, ya, begini amat punya teman, nggak ada yang warasnya.

  'Cit!

  "Eh?!"

  Buset, dah, beruntung gue nggak jatuh, lagian Abangnya membawanya gesit amat dah kek lagi balap motor. Rossi menangis melihat ini. Bisa pesek, nih, hidung gue ke teplok kaca rata kusam. Parah, andai kalian jadi gue duduk di sini sambil ngelihatin Meli sama Reval saling tatap-tatapan gitu. Lebih tepatnya lagi mau berciuman. Sialan.

  "Bang ada apa? Mau jatuh atuh, nih, jantung," gerutu Willi, pakai gelagat sunda.

  "Ada anak ayam tadi lewat."

  "Cepat Bang, aing mau cepat-cepat pulang. Sumpek duduk kelamaan di sini!" ucap gue bernada agak tinggi, gue itu capek tau nggak jadi penonton keuwuan orang lain. Sedangkan gue bagaimana mau uwu-uwuan sama pacar. Pacar aja nggak punya, sungguh miris.

  "Lo ngapain mau cepat-cepat balik? Apa jangan-jangan roti lo penuh lagi makanya mau pulang cepat biar bisa mengganti." Kalau ini tidak di dalam bis sudah gue tampol pala Vino, ngomongin soal beginian malah di tempat kek gini.

  "Woi diem lo pada, gue mau bicara sama Meli aja harus susah amat," ketus Reval.

  "Aciee, kapan, tuh, kalian berdua jadian?" tanya Pandu menyerocos sambil ngelirik ke arah gue.

  "Apaan, sih!"

  "Ciee ...muka lo berdua pada memerah akay ...!" Willi menunjuk-nunjuk ke arah mereka berdua.

  "Enak nggak lagunya?"

  Sejak kapan Rio tiba-tiba duduk di samping gue. Datang langsung asal-asalan melepas earphone gue yang masih melekat di kuping, di ganti dengan earphone miliknya. Jadinya kami berbagi earphone bersama. Alunan musik melow enak betul. Perasaan galau gue itu seperti hilang sesaat ketika dengerin, nih, lagu. Mau tau lagu apa?

  Lagu lingsirwangi.

  "Iya lagunya enak, cocok buat tidur." Gue menyenderkan badan di jendela bis biar bisa tidur, tapi Rio malah narik badan gue.

  "Tidur saja di bahu gue." Gue terkejut ketika Rio berubah jadi sosweet begini. Entah kenapa, gue sekarang berasa kaku, tidak bisa bergerak. Detak jantung gue juga berdetak sangat cepat dibanding biasanya. Sebenarnya gue ini kenapa?

***

  Saat ini gue cuma berdua sama Reval berjalan memasuki gang, beberapa langkah lagi mau sampai ke rumah. Asli, gue kangen kuda nil. Kalau udah sampe ke rumah langsung gue peluk adek gue. Biar dia bilang begini 'Hu hu Zeze gue juga kangen sama lo' widih deskripsi yang sungguh mengenakkan kalau terjadi.

  "Ze."

  "Em, eh?!" Reval menarik lengan gue, sontak aja gue termundur sedikit. Anehnya, detak jantung gue normal-normal aja.

  "Jawab dengan jujur, lo suka sama Rio?"

  "Gue suka sama Rio? Pfft ...!" Anjir emang, siapa juga suka sama Rio 'kan gue sukanya sama lo, Reval.

  "Kenapa ketawa?"

  Gue menepuk-nepuk bahu Reval, gue masih terngakak-ngakak. "Hei, ya, jelas enggak lah, Rio itu cuma gue anggap teman doang."

  "Bagus."

  "Apanya yang bagus?"

  "Gue mau jujur sama lo," ucapnya bertampang serius, kalau gini gue juga harus serius.

  "Jujur apa?"

  "Seb--"

  "Wah ...! Anak mama akhirnya sudah pulang juga. Mama kangen banget sama kamu. Muach muach, muachh ..."

  "Ih, Mama kenapa nyium Reval di hadapan Zeze, bikin malu aja!" bisik Reval yang samar-samar masih bisa gue dengar.

  "Ya sudah ngapain lama-lama di sini? Yuk masuk, mama sudah buatin nasi goreng kesukaan kamu lho." Tante Ratna mencubit hidung Reval. Nggak nyangka gue, Reval masih di perlakukan seperti anak kecil. Coba nyokap gue, ogah mau mencubit-cubit hidung gue. Katanya, ya, nih, katanya, ada upilnya.

  "Em, Ze, gue duluan."

  Gue cuma mengangguk mengiyakan. Eh tunggu, kok seperti ada yang mengganjal, ya. Oh, iya, tadi 'kan dia mau jujur, Tapi, apa? Oalah, kenapa gue jadi pelupa gini!

  "Lah, elu kenapa pulang?!" tanya adek gue yang tau-taunya ada di samping gue berdiri sambil menaiki sepeda gunung. Itupun juga hadiahan dari jalan santai.

  "Gitu amat, sih, lo, ini 'kan juga rumah gue. Sewot aja, nggak punya adab sama kakak!"

  "Giti imit sih li, ini 'kin jigi rimih gie. Siwit aji, nggik pinyi idib simi kikik!"

  Gue melepas sepatu, ini kurang ajar. Gue masang mode serius dianya malah mengejek gue. Pupus sudah deskripsi tadi.

  'Bak!

  "Bleee nggak kena bahahaha ....!"

  "Satu lagi, nih!" Gue melepas sepatu sebelahnya lagi. Moga kena kepalanya terus dia amnesia. Terus dia nanya, siapa gue? Lo tukang sikat WC ujar gue.

  'Bak!

  "Ups!"

  Bangsul, niatnya mau ngenain sepatu itu ke kepala kuda nil. Tapi kenanya malah ke kepala orang gila. Gawat ini, gue melirik di mana kuda nil tadi berada.

  "Lah kok, kok, nggak ada?!"

  "KAU ...!"

  "Huwwwaaa ....mamski ...tulunk ...!"

T B C

Diary Remaja [End]✓Where stories live. Discover now