5/9

335 119 19
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



🌓



Semenjak insiden dua hari berturut-turut kemarin, aku jadi agak was-was kalau ke perpustakaan, dan kentara sekali Bu Sri juga sama was-wasnya, malah bisa jadi lebih dari aku. Wajar, daerah kekuasaannya baru saja diusik. Oh, coba tebak, berapa kali Bu Sri sudah melirikku sejak aku masuk ke perpustakaan? Ratusan.


Bohong deh, aku hiperbola.


Dan benar saja, si manusia setengah waras itu betulan datang lagi. Baru ujung sepatunya muncul di celah pintu pun, kedua mata Bu Sri sampai nyaris mau keluar. Ngeri. Buru-buru aku lari, mendorong dia keluar supaya enggak perlu terjadi hal-hal yang enggak diinginkan—lagi.


"Hari ini kamu semangat ya ketemu aku sampai lari-lari menyambutku begini? Baguslah. Ayo latihan lagi."

Duh, hidupku belum pernah jadi sekonyol ini.


Sengaja kuseret ia ke taman belakang perpustakaan, agak sepi soalnya di sana, demi menghindari opini publik yang tidak-tidak. Sudah kubilang, si Chandra ini selebriti sekolah yang mantannya selusin. Siapapun yang lihat kami berdua begini wajar-wajar saja kalau berpikir aku ini perempuan ketiga belasnya, duh angkanya saja sudah sial begitu.


"Aku, menyukaimu."

"—Bagaimana, yang barusan sudah terdengar jujur belum?"


Iya, lelaki ini kubiarkan saja lama-lama menunggu jawabanku. Habisnya, betulan, aku enggak tahu lagi harus bersikap bagaimana. Dari awal ia memang bersungguh-sungguh, memang jujur. Sama sekali enggak ada yang kurang dari pernyataan cinta konyolnya itu.


"Chan, kenapa kamu segigih ini, sih?"

"Hah? Apa?"

"Dengar ya. 

Letak masalahnya bukan di kamu, Chan. Kamu jujur, dan kamu tahu betul kalau kamu juga enggak main-main. Masalahnya, dianya yang memang enggak mau terima kamu. Mau sejujur apa juga dia bakal sebut kamu bohong, Chan. Ayolah, itu cuma akal-akalan dia buat memukul mundur kamu!"


Ah, 

kenapa juga nada bicaraku jadi meninggi. Si Chandra saja sampai bingung sendiri, kaget kubentak begitu. Lama-lama bergaul sama Chandra, apakah ketidakwarasan bisa menular?


"Intinya, terima saja, Chan. Kamu ini. Baru. Ditolak. Ya?"

Aku sampai harus jinjit untuk menepuk bahunya, menyemangati. Agak merasa bersalah juga sebetulnya sudah agak membentaknya tadi. Tapi, kupikir aku enggak berhutang maaf buat itu, dia memang harus bangun dan menerima kenyataan.

Habisnya, lama-lama, menyebalkan juga. Dia bicara sejujur itu di depanku. Dia menyatakan perasaan dengan setulus itu di depanku. Bisa-bisanya ia berbicara sejujur itu padahal ia tujukan bukan untukku.


Sial. Kenapa aku jadi sebal.



🌓

Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
bohong paling serius ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang