7/9

342 122 51
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



🌓


Tekadku sudah bulat buat menjadikan hari ini sebagai hari terakhir hidupku dibuat konyol oleh manusia setengah waras bernama Chandra. Yang kemarin di kafetaria itu gila.

Semalam aku sampai diundang masuk grup chat perkumpulan mantan-mantan Chandra. Kupikir perkumpulan tak berfaedah itu cuma selintingan rumor tak berdasar. Rupanya eksistensinya betulan nyata. Aku sampai dibuat membayangkan kira-kira obrolan macam apa yang mereka bagi di ruang obrolan itu. Enggak mungkin 'kan isinya berbagi catatan pelajaran sekolah?

Aku dan Chandra memang belum pernah bertukar nomor telepon, tapi mendapatkan nomor teleponnya bukan perkara sulit. Jangan tanya bagaimana, tebak-tebak saja bagaimana aku mendapatkannya. Aku butuh nomornya, untuk memintanya menemuiku sepulang sekolah. Sudah kubilang, semuanya harus kuselesaikan hari ini.


"Wah, sebuah kehormatan sampai kamu menghubungi lebih dulu."

Nah, si pelaku tindakan kriminal datang.


Wajahnya sama sekali tanpa rasa bersalah, malah cengar-cengir. Semakin bikin sebal.

"Iya, aku serius akan melatihmu sekarang. Sampai wajahmu yang penuh dusta itu kelihatan jujur. Kita berlatih sampai mampus hari ini."

Aku ambil beberapa langkah mendekatinya, supaya kesungguhanku betulan terlihat. Mendengar ucapanku, senyumnya mengembang macam adonan donat buatan ibuku. Duh, aku lapar, aku ingin cepat-cepat pulang.


"Oke, kita mulai dari mana? Dari caraku berdiri?"

"Kamu cukup dengarkan aku baik-baik, dan jangan memotong."


Sumpah, selama ini aku cuma tahu cara membedakan detak jantung, deru napas, atau intonasi orang saat bicara, aku hanya bermodalkan itu untuk tahu apakah seseorang sedang berbohong atau enggak. Aku sama sekali enggak tahu cara supaya orang yang jujur bisa terlihat jujur. Satu-satunya tindakan yang bisa kuambil kalau sudah sampai di jalan buntu begitu cuma satu.


OK Google.

Semua yang akan keluar dari mulutku sekarang hanyalah apa-apa yang mampu kuingat setelah semalaman menghafal kompilasi artikel tentang psikologi orang yang berbohong.


"Pertama, kamu harus tahu momen, tahu tempat. Jangan di situasi receh macam di kafetaria—"

"Kalau yang ini sih, aku tahu."

"Terus, kenapa kemarin kamu—"

"Yang kemarin itu cuma latihan, 'kan? Bukannya aku sedang bersungguh-sungguh mengungkapkan perasaan."


Ah, sial.

Mana bisa menang aku melawan si lelaki bermantan satu lusin ini. Argumennya pasti berjuta-juta.


"Latihan juga harus sungguh-sungguh. Dan jangan memotong kalimatku."

Cepat-cepat dia mengulum bibirnya, kemudian melipat kedua tangan di depan dada, siap mendengarkan.

"Kedua, sudah kubilang 'kan? Mata bertemu mata itu penting. Dari mata, semuanya terlihat. Saat pupilmu melebar, saat pupilmu berlarian enggan menatap lawan bicaramu, gerakan kecil begitu pun punya artinya sendiri."

Dia mengangguk-angguk serius, itu artinya, aktingku lumayan juga. Ah, apa lagi ya yang ada di artikel semalam?

"Ketiga, intonasi bicara. Meskipun gugup, cobalah senatural mungkin. Jangan pikirkan apapun, fokus saja dengan apa yang ingin hatimu utarakan,"


Kemudian... Duh, apa lagi ya? Aku lupa.

Ayo tenangkan diri, Wendy. Kamu harus tenang supaya oksigenmu sampai ke otak.


Ah, sial. Aku betulan lupa!


"Keempat, pastikan suaramu terdengar jelas. Enggak perlu terlalu keras, atau terlalu lembut. Volume bicaramu cukup sedang dan terdengar serius. Kemudian yang kelima, sebut namanya. Sebut namanya saat kamu mengungkapkan isi hatimu. Untuk menambahkan kesan bahwa kalimat itu betul-betul ditujukan untuknya. Wendy, bisa-bisanya referensi artikel bacaan kita sama. Seharusnya kamu tahu, sebelum mendatangimu, aku sudah khatam baca artikel-artikel itu."


Tamat.
Kamu tamat Wendy.

Betulan tamat.
Hidupmu tidak akan tenang.
Menyelam saja ke Palung Mariana sana.


Si Chandra yang tahu sudah menang telak sekarang cuma cengar-cengir, sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya. Dan aku, aku... ah.

"Sudah kubilang, pekerjaanmu itu mudah. Kamu cuma perlu dengar ucapanku, kemudian nilai. Aku ini sedang jujur atau enggak." Lihat? Aku malah diomeli. Berhubung aku juga sudah enggak tahu lagi harus menghadapi lelaki ini kayak apa, aku mengiyakan saja tiap-tiap kalimatnya.


"Untuk menghargai usahamu, aku akan terapkan apa-apa yang kau sebut tadi. Pertama, mata. Lihat aku, jangan menunduk begitu."


Sial.

Selamat tinggal urat malu. Nyawamu tamat sudah di tangan lelaki sinting di hadapanku ini.


Aku mengangkat kepalaku, membalas tatapannya. Mari kita lihat akan berlarian ke mana pupilnya ini saat bicara.

"Kemudian, intonasi yang jelas, volume bicara sedang dan terdengar serius. Yang terakhir, sebut nama orang yang dituju—"


Ah, kepalaku pusing.

Yang sedang ribut ini detak jantung siapa sih? Detak jantungnya kenapa seribut—


"Aku, menyukaimu. Wendy."




🌓

Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
bohong paling serius ✓Where stories live. Discover now