6/9

334 120 36
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



🌓



Hari ini aku enggak ke perpustakaan. Sengaja. Biar si Chandra bingung sendiri. Aku juga butuh kedamaian hidup.

Habisnya, kalau dipikir-pikir, dia ini agak enggak sopan. Koreksi, bukan agak lagi, teriak-teriak mencariku di perpustakaan itu bukannya enggak sopan lagi, sinting. Maksudku, kutebak, dia tahu aku di kelas mana juga enggak, waktu itu dia main datang saja minta tolong begitu. Minimal, bisa 'kan basa basi busuk sedikit? Tanya kelasku, apa aku sibuk, apa aku berkenan bantu dia, bukannya langsung main ucap kalimat sakral begitu.

AhEnggak tahu lah.


"Wen,"

"Oh, iya? Apa?"

"Kamu punya dendam sama bubur?"

"Iya. Eh, apa?"


Aku dibuat bingung sendiri dengan Irene yang tiba-tiba tarik mangkuk buburku begitu, sampai dengan lebay-nya sengaja ia sembunyikan dengan lengannya, ia lindungi sepenuh hati. Oh. Dia memang suka bertindak di luar nalar begitu, aku enggak terlalu terkejut.

"Kasihan buburnya. Kalau mau marah, marah saja sama orang di kepala kamu. Jangan dilampiaskan ke bubur tak berdosa ini."


Ah. Aku butuh beberapa sekon buat sadar. Yang daritadi kupegang di tanganku bukan sendok. Tapi garpu.

"Iya, Wen. Bubur ini sudah tewas kamu tusuk dengan sadis pakai garpu."


Dia puas bisa bilang begitu sambil mengembalikan mangkuk milikku. Harusnya itu dialogku. Biasanya aku yang bilang begitu kalau dia lagi ada masalah sama pacarnya yang tajir melintir itu. Ah, tapi 'kan, bukannya aku lagi ada masalah sama laki-laki kayak dia.


"Wen,"

"Apa, sih?"

"Kamu sengaja ya bikin aku capek keliling sekolah?"

Oh, sial.


Hari ini aku betulan jadi santapan besar untuk Irene, melihat seberapa antusiasnya dia waktu Chandra yang akhlaknya sudah dibuang ke Palung Mariana tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Kalau aku punya telinga yang tajam, Irene ini punya insting yang setajam mulut ibu tiri.


"Ayo latihan lagi. Eh, oh—maaf, dia boleh kupinjam sebentar?"

Irene mengerjap singkat sambil menelan suapan terakhir buburnya, "Enggak boleh, tuh."

Wah, aku padamu, Irene sayang. Rupanya, aku terlalu cepat berpikiran negatif tentang sahabatku ini. Harusnya aku percaya, Irene akan selalu berada di sisiku.


"Kalau mau, latihannya di sini saja, Chan. Aku bisa tunggu kok."


Irene manusia rubah sialan. 

Sudah kuputuskan, ini hari terakhir dari persahabatan panjang dan suciku dengan Irene setelah delapan tahun bersama. Lihat, bisa-bisanya dia pasang senyum asimetris begitu sekarang.


"Oke! Semalam aku sudah latihan, semoga hari ini lebih bagus. Coba dengar ya, Wen—"

"Sampai berani kamu—"

"Aku, menyukaimu."


Duar!

Meledak sudah gosip murahan baru di sekolah.


Irene tepuk tangan puas sambil memejamkan mata segala. Sedang si Chandra dungu cuma cengar-cengir, mungkin buat dia, enggak masalah kalau orang-orang yang lalu lalang di kafetaria berpikir yang enggak-enggak. Sekarang aku jadi paham atas alasan mengapa cintanya bertepuk sebelah tangan begitu.

Mau diucap sejujur apapun, saking mudahnya ia mengumbar perasaan, esensinya jadi makin hilang. Perasaannya sudah tercecer ke mana-mana dan jadi hilang makna.


Ah. Harusnya, perempuannya itu langsung saja terang-terangan tolak dia. Enggak perlu berbelit-belit sampai bikin susah hidup orang begini.



🌓

Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Ehe, terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
bohong paling serius ✓Where stories live. Discover now