#BdB-10

431 70 17
                                    

maaf ya kalo kemaleman. selamat membaca!

* * * * *

Calan melangkah memasuki gedung kantornya dengan langkah santai, membalas sapaan karyawan-karyawannya dengan sebuah senyum singkat. Sesekali ia menghela napas, menarik dasinya agar sedikit lebih longgar, padahal ia baru memakainya selama empat puluh lima menit. Tidak butuh waktu lama untuknya sampai di ruangan. Satu hal yang membuatnya mematung begitu membuka pintu adalah; Papanya duduk di kursi kerjanya, membelakangi pintu masuk karena tengah menghadap jendela. Di sebelah pria enam puluh tahun lebih itu, berdiri seorang laki-laki muda berjas rapi, yang setelah diamati lebih teliti, adalah orang yang sama dengan orang di club tempo hari ketika Calan menemui Hansa.

Apalagi sekarang? Calan berdecak dalam hati. Kakinya melangkah masuk hingga akhirnya berhenti di depan meja kerjanya sendiri. Ia diam tak bersuara karena ia yakin, Papanya sudah tau akan kedatangannya.

Benar saja, dua puluh detik kemudian, Papa berbalik, menatap Calan tepat di manik mata. Tatapannya datar namun tetap saja mengintimidasi. Sebisa mungkin Calan tidak gentar, meyakinkan dirinya sendiri kalau ini bukan pertama kali ia berhadapan dengan Papa. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi.

"Kamu nggak mau menyapa Papa?" tanya laki-laki di depannya. Calan mendengus, mengalihkan pandangannya ke sembarang arah—yang penting bukan ke arah Papa. "Ini sambutan kamu kepada Papa yang sudah lama nggak kamu temui?"

Calan masih diam, melirik Papa sekilas. Melalui pandangan matanya, Papa menyuruh orang yang daritadi berdiri tegak di sebelah Calan untuk keluar. Mengikuti gerakan orang suruhan Papa hingga menghilang di balik pintu, tanpa sadar kedua tangan Calan mengepal.

Papa berdiri, berpindah tempat duduk ke sofa khusus tamu dan menjatuhkan badannya di bagian yang tunggal. Calan hanya berbalik badan, tidak berniat sama sekali untuk bergabung duduk di sofa sebelah Papanya.

"Ada perlu apa Papa datang ke sini?" tanya Calan, mencoba kalem. "Perasaan lagi nggak ada masalah dengan perusahaan. Semuanya bisa aku handle dengan baik."

"'Semuanya bisa kamu handle dengan baik'?" Papa terkekeh sinis. Gerakannya yang sangat hati-hati membuat Calan waspada. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan pria paruh baya ini lakukan. Semuanya abu-abu. "Kamu sedang mencoba mengkhianati Papa?"

Bola mata Calan sedikit bergetar dan ia bersyukur karena Papa kini berada di depannya sehingga Papa tidak dapat melihatnya. "Aku nggak ngerti apa yang sedang Papa bicarakan."

Bohong. Calan teramat paham dengan apa yang sedang dibahas Papa sekarang.

"Jangan berlagak bodoh kamu," suara Papa masih terdengar tenang. Tapi Calan tau kalau Papa tidak dalam keadaan setenang suaranya. "Atau perlu Papa jabarkan lagi kebodohan apa yang sedang kamu lakukan sekarang?"

"Adisa nggak ada hubungannya sama semua ini."

"Berani kamu membela gadis itu di depan Papa," geram Papa dengan tangan kiri yang mengepal erat. "Kamu tau apa yang harus kamu lakukan sekarang."

"Aku ketemu Adisa dengan nggak sengaja, Pa. Aku nggak bohong."

"Nggak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, Calan!" suara Papa meninggi. "Kalau memang pertemuan kalian adalah sebuah kebetulan, kenapa sampai sekarang kamu masih berhubungan dengan gadis itu?"

Calan tidak menjawab, membiarkan Papa mengeluarkan semua apa yang ingin diutarakan. Calan tidak akan menyela.

"Jelaskan ke Papa sekarang. Apa tujuan kamu membawa gadis itu ke apartemen kamu? Jangan kamu pikir Papa nggak tau kalian berdua tinggal bersama sekarang."

Boulon du Bleu [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang