#BdB-12

357 66 30
                                    

ditunggu vote dan komentarnya. selamat membaca :))xx

* * * * *

"Adis, kenapa pagi-pagi berisik banget?"

Calan menggedor pintu kamar Adisa. Beberapa detik kemudian, terdengar grasak-grusuk dari dalam kamar disusul munculnya wajah Adisa dengan rambut yang berantakan di balik pintu. Begitu pintu terbuka, suasana apartemen Calan di pagi hari semakin tidak terkendali, suara tangis Leo menyebar ke seluruh sudut ruangan.

"Leo kenapa nangis?" tanya Calan bersedekap dada, menatap Leo yang duduk bersila di atas ranjang Adisa dengan pipi basah karena air mata lengkap dengan mulutnya yang terbuka mengeluarkan suara. Calan bahkan masih menggunakan setelan tidurnya—celana hitam pendek dan kaos putih tolos. Wajah pria itu terlihat lelah, sepertinya tidurnya baru beberapa jam saja.

"Nggak mau sekolah, Om," rengek Leo, turun dari ranjang dan menghampiri Calan. Tanpa aba-aba, Leo memeluk perut Calan dan menangis di sana. "Leo nggak mau sekolah."

"Leo," Adisa berjongkok, mensejajarkan badannya dengan Leo. "Kalo Leo nggak sekolah nanti Ayah marah. Sekarang mandi yuk, terus Kak Disa anter Leo ke rumah buat ganti baju. Kak Disa juga yang bakal nganter Leo ke sekolah."

Tanpa sadar, Calan menatap Adisa takjub. Dia mengerti bagaimana cara memposisikan diri ketika berhadapan dengan anak kecil. Berbeda dengan Calan yang tidak peduli siapa lawan bicaranya, laki-laki itu akan selalu berbicara dengan nada ngegas.

Calan tidak bergerak, membiarkan tangannya tetap terlipat di depan dada sementara Leo mendekap erat perutnya. Kepala bocah itu menggeleng, tidak mau termakan bujuk rayu Adisa.

Ponsel Adisa yang berada di dalam kamar berbunyi membuat si empunya bergegas meraih benda tersebut dan menempelkannya ke telinga kiri. Calan memperhatikan semua gerak-gerik Adisa. Meneka-nerka siapa kira-kira yang menghubungi pagi-pagi begini? Apalagi Adisa berbicara dengan nada halus sekali. Menambah rasa curiga Calan saja.

Sampai Adisa melemparkan ponselnya ke ranjang dan kembali menghampiri Leo, Calan masih tidak melepaskan tatapannya dari Adisa.

"Ayah Leo tadi nelpon Kak Disa. Nanya, Leo kok belum sampe rumah sampe sekarang? Kan Leo harus sekolah."

"Terus, lo jawab apa?" Calan yang merespons. Leo sibuk menyembunyikan wajahnya di perut Calan, enggan menatap Adisa.

Adisa mendongak, sebelah alisnya terangkat. "Ya gue bilang kalo Leo nggak mau sekolah."

"Ya udah sih, nggak sekolah sehari juga nggak apa-apa."

"Ya, kan, Om? Nggak apa-apa ya Leo nggak sekolah?" Leo segera mengangkat wajah, mencari pembelaan pada Calan.

"Yeee, tadi aja lo nangis-nangis," telunjuk Calan mendorong kening Leo pelan. "Emang kenapa nggak mau sekolah, sih?"

"Nanti Leo ketemu Bunda. Leo nggak mau."

Calan dan Adisa diam, tidak menanggapi lebih lanjut—karena kalau mau jujur, dua orang dewasa itu tidak tau harus menanggapi bagaimana. Cukup membahas permasalahan Ayah dan Bunda Leo. Mereka berdua tidak mau Leo kembali terguncang karena mengingat masalah kemarin.

"Ayah bilang gimana Kak, waktu tau Leo nggak mau sekolah?"

Adisa tak langsung menjawab. Dia justru melihat Calan, seperti meminta persetujuan. Calan mengangguk, meskipun tidak paham apa yang sedang Adisa mintai persetujuannya, yang penting iyain saja dulu.

Boulon du Bleu [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang