#BdB-11

387 69 9
                                    

Selamat membaca! :))xo

* * * * *

Adisa meremas kedua tangannya yang berkeringat, berusaha menghilangkan rasa gugup. Berulang kali mensugesti diri sendiri kalau dia tidak salah mengambil keputusan. Perjalanan empat puluh menit yang ditempuhnya dengan taksi terasa seperti mengedipkan mata. Belum usai kegugupannya, kok tau-tau sudah sampai saja?

Semalam, seseorang meneleponnya, belasan kali yang tentu saja Adisa abaikan karena Adisa tau siapa yang sedang berusaha menghubunginya ini. Namun, panggilan itu tak berhenti. Ponsel Adisa terus bergetar, menampilkan nomor yang sama. Dengan keteguhan hati yang sebelumnya sudah ia rangkai sedemikian rupa, Adisa akhirnya mengangkat panggilan tersebut. Menempelkan ponsel di telinga namun tak langsung berbicara. Wanita itu menunggu seseorang di seberang sana bersuara terlebih dahulu.

Tak banyak yang mereka berdua bicarakan di telepon. Hanya Andra yang meminta bertemu dengan Adisa. Berdua. Lelaki itu ingin menjelaskan semuanya, katanya. Panggilan itu diakhiri dengan suara lelah Andra yang berkata, 'Setelah kamu dengar penjelasan aku, keputusan apapun yang kamu buat akan aku terima'.

Dan di sinilah Adisa sekarang. Berdiri di depan kafe yang menjadi tempat janji temu mereka berdua. Adisa sudah meminta ijin pada atasannya untuk tidak masuk hari ini. Jantungnya berdetak tidak karuan. Telapak tangannya berkeringat. Kedua kakinya terasa kaku.

Menghela napas, Adisa akhirnya melangkah masuk. Mendorong pintu kaca kemudian mengedarkan pandangan. Tidak banyak orang di kafe ini, mungkin karena masih terlalu pagi, sehingga tidak sulit bagi Adisa untuk menemukan sosok yang kini berdiri dari duduknya, memandangnya dengan tatapan penuh terima kasih.

"Mau pesan apa?" tanya laki-laki itu setelah Adisa duduk di kursi, berhadapan dengannya.

"Nggak perlu basa-basi, Ndra. Kamu bisa langsung ngomong."

"Kamu sibuk?"

"Iya."

"Bohong."

Adisa tersentak di kursinya. Nada suara Andra berubah menjadi lebih tajam dari sebelumnya.

"Kamu bukan pembohong handal. Kamu nggak bisa bohong dari aku."

Tidak ada yang bisa Adisa lakukan selain mendesah, mengatakan minuman yang ingin dipesannya kepada Andra, lantas laki-laki itu berdiri, berjalan menuju kasir untuk kemudian kembali lagi tiga menit kemudian.

Adisa mengedarkan pandang, ke mana saja asal tidak bertatapan dengan Andra yang tidak pernah mengalihkan pandang darinya sedikitpun. Adisa mulai tidak nyaman dengan situasinya sekarang. Ditambah lagi minumannya tak kunjung datang, membuatnya bingung sendiri apa yang sebaiknya ia lakukan.

"Santai aja," Andra mendorong gelas minuman Adisa mendekat ke arah wanita itu. "Pertama aku mau minta maaf."

"Aku udah maafin kamu," jawab Adisa cepat, terlampau cepat.

"Kalau kamu udah maafin aku, kenapa kamu kelihatan benci banget sama aku?"

Wajah Adisa mendongak, "Untukku, memaafkan bukan berarti berhenti membenci."

"Kesalahan aku sepertinya terlalu menyakitkan ya untuk kamu?"

"Kamu masih nanya?" Adisa tergelak, kontras dengan pelupuk matanya yang mulai memanas. "Aku mengorbankan semua hal yang aku punya buat kamu, Ndra. Tapi kamu dengan seenak jidat sibuk menebar benih di mana-mana. Aku nggak sekuat itu untuk kamu khianati terus-terusan."

Pengkhianatan pertama yang dilakukan oleh Andra tidak membuat wanita itu ragu. Sebaliknya, dia sibuk bertanya apa yang salah dengan dirinya hingga Andra memilih untuk berpaling? Kembalinya Andra dengan permintaan maaf dan wajah memelas cukup untuk mengembalikan kepercayaannya. Ia menganggap Andra sebagai manusia yang tengah khilaf waktu itu. Toh, setiap manusia pasti pernah khilaf kan?

Boulon du Bleu [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang