11 Rabiul Awal

52 18 25
                                    

Hari ini, Ida pergi ke sekolah dengan perasaan bersalah. Melihat senyum sang ayah sebelum berangkat ke kebun tebu.

"Hah, besok adalah acara puncak perayaan Maulid Nabi. Aku bisa pergi karena bantuan Ibu, tapi aku dan Ibu sudah berbohong sama Bapak. Bagaimana kalau Bapak tahu?" gumam Ida. Ia melamun di dalam kelas. 

"Ida, ayo ke kantin!" ajak Teti.

Teti adalah teman akrab Ida di sekolah. Ida selalu menceritakan semua keluh-kesahnya pada Teti. Kali ini pun, Ida menceritakan kegundahan hatinya pada Teti.

"Kamu saja, aku malas keluar," jawab Ida dengan suara berat.

Teti sudah hapal dengan sikap Ida. Jika Ida seperti itu, pasti Ida sedang ada masalah. Teti mengurungkan niatnya untuk ke kantin dan memilih duduk kembali di samping Ida.

"Ada apa, Da? Sedang ada masalah apa? Biasanya kamu cerita sama aku," ucap Teti.

Ida menghela napas. Ia merasakan sesak, seakan oksigen di dalam paru-paru Ida itu menipis. Pertama kalinya bagi Ida, ia merasa sulit untuk bercerita. Rasa bersalah pada sang ayah membuat Ida benar-benar tertekan. Rasanya seperti ada sebuah batu besar yang mengimpit tubuhnya.

"Hah, aku merasa sangat bersalah sama Bapak, Tet." Ida menatap ke depan dengan mata berkaca-kaca. Ingin sekali Ida menangis. Namun, ia malu karena banyak teman-teman sekelasnya yang sedang duduk.

"Soal nganterin si Bintang?" tanya Teti. Teti tahu akan sangat sulit bagi Ida keluar rumah. Sementara tugas yang kepala sekolah berikan padanya juga tidak mudah. Jangankan untuk menginap di luar rumah, untuk keluar malam saja tidak boleh. Ida begitu tertekan? Dia pasti tidak mendapat izin dari ayahnya. Teti pun menerka-nerka sumber masalah yang membuat Ida murung.

"Iya. Ibu udah bantuin aku bohong sama Bapak. Ibu bilang sama Bapak kalau, aku menginap di rumah saudara. Tapi aku merasa bersalah sudah berbohong sama Bapak. Kamu tahu, kan, Tet. Aku tidak pernah berbohong," ucap Ida sambil menunduk sedih. Ia memainkan kedua tangannya di bawah meja. Kebiasaan yang tidak pernah hilang dari seorang Ida, ia selalu memainkan jemari tangannya saat sedang gelisah.

"Tidak apa-apa, Da. Kamu tidak menginap karena berbuat hal yang aneh, tapi karena mengerjakan tugas. Jadi, kamu tidak sepenuhnya bersalah. Besok hari H kan?" tanya Teti.

"Iya. Hari ini, sepulang sekolah, aku akan pergi ke keraton untuk meminta izin pada pihak keamanan. Semoga saja kami bisa meliput acara itu dari dekat," ucap Ida.

"Aamiin, semoga berhasil mendapat izin," sahut Teti.

Jam istirahat pun usai. Kegiatan belajar mengajar kembali berlangsung. Tiga jam pelajaran terasa sangat cepat berlalu.

Ida berdiri di pintu gerbang. Ia menunggu Bintang keluar dari kelasnya. Beberapa orang siswi menggoda Ida saat mereka melewati Ida.

"Ciee, Ida lagi nunggu pacarnya ya?" goda Santi dengan senyum mengejek.

"Apa sih, San? Siapa juga yang pacaran," jawab Ida dengan kesal.

Pacaran sama cowok nyebelin kaya dia, enggak banget, deh.

"Dia ke mana sih? Males banget nungguin dia kalau gak terpaksa," gerutu Ida.

Ida sudah lelah berdiri menunggu Bintang. Namun, orang yang ditunggu tidak juga datang. Ia mendongak, menatap matahari yang tertutup awan. Tampaknya hari ini akan turun hujan. Ida hanya berdoa semoga hujan jangan turun. Saat Ida menundukkan wajahnya kembali, ia terkejut karena Bintang sudah berdiri di sampingnya.

"Astaga!" pekik Ida.

"Jadi berangkat?" tanya Bintang.

"Jadi. Udah buruan!" Ida menjawab dengan kesal. Satu jam lamanya Ida menunggu dan Bintang tiba-tiba bertanya dengan wajah tanpa dosa.

Ketos Pujaan Berbaju BatikWhere stories live. Discover now