Capek!

1.2K 18 3
                                    

Setibanya kami berdua di rumah, teman-teman menyambut dengan wajah-wajah cemas.

Apalagi Rani  langsung membawaku ke dalam kamar, memastikan tidak ada yang kurang pada diriku.

“Dil, kamu habis dibawa-bawa orang ya? Coba buka!” Rani memaksaku membuka semua baju karena begitu khawatir saat melihat tatapan mataku yang menurutnya kosong.

Kuturuti saja kemauan Rani, membuka semua dan membiarkannya memeriksa seperti seorang ahli forensik.

Rani memang selalu seperti itu, terkadang berlebihan tapi aku bisa mengerti alasannya. Hanya kami berdua wanita dalam tim ke pulau itu, yang artinya satu dan lain harus saling menjaga.

“Aman. Nggak ada bekas bercak darah. Alhamdulillah, Nad. Aku parno banget tadi pas kamu tiba-tiba hilang, ke mana sih? Ngapain aja, coba? Nggak bawa handphone lagi.” Rani sangat cerewet memarahiku.

“Ran, aku mau pulang.”

“Pulang? Pulang ke mana, Nad? Jangan macam-macam. Kalau kamu pulang, lalu aku sama siapa di sini?”

Sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak menangis di depan Rani, namun akhirnya pecah juga tanpa bisa kujelaskan keadaan yang sedang menimpaku saat itu.

Rani medekap tubuhku, mendengarkan isak tangis tertahan yang kubenamkan di bahunya.

[Selamat malam, Pak Juna.] Kukirim pesan kepada Pak Arjuna malam itu juga setelah merasa sedikit lebih tenang.

[Malam, Dewi. ]

[Nadila, Pak.]

Kebiasaan Pak Arjuna yang tidak mau menyimpan nomer kontak di ponselnya terkadang membuatku kesal karena harus bicara basa-basi sebelum ke inti permasalahannya.

Dia selalu berkata bahwa menyimpan kontak dan melihat story di wasap, hanya akan membuang waktu percuma.

Hanya nomer orang-orang penting yang dia simpan, pejabat layanan publik dan para komisaris di kantor. Pak Ardhan menyebutnya dengan orang-orang level alfa. Memang sombong sekali dia.

[Saya dan Rani mau izin, Pak. Sudah berbulan-bulan kami di sini. Rindu kepada orang tua.]

Aku dan Rani menggigit bibir dengan cemas sambil menunggu balasan dari Pak Arjuna. Setelah berdiskusi, akhirnya kami berdua sepakat untuk mengajukan izin cuti bersamaan.

Kebetulan Rani dan Angga berencana menggelar acara lamaran kalau kami mendapatkan dispensasi. Mereka memang akan menikah di tahun ini, hanya sedang menunggu bulan baik, katanya.

[Kenapa rindunya bisa sama-sama? Orang tua kalian sama, ya? Ow, saya baru tahu kalau kalian ternyata bersaudara.]

Hadeh, orang ini suka sekali mencari gara-gara.

[Kami rindu kepada orang tua kami masing-masing, Pak Jun.] Tetap kubalas meskipun rasanya mulai kesal.

[Pak Jun … Pak Jun … Emangnya Jin dan Jun.]

[Boleh nggak, Pak Arjuna?]

[Tiga hari dua malam cukup?]

[Ya Allah, Pak. Satu Minggu dong.]

[Aih … lama.]

Aku dan Rani saling berpandangan, nampaknya kali ini negosiasi akan sangat alot mengingat sifat Pak Arjuna yang sangat perhitungan dan suka menyusahkan anak buah jika hendak mengajukan izin cuti.

Malam itu, sampai hampir dini hari proses tawar menawar akhirnya sepakat di angka lima. Iya, kami mendapatkan izin lima hari untuk pulang ke rumah, itupun setelah Rani mengiba karena akan menggelar proses lamaran.

GHOSTING (Terbit)✅Where stories live. Discover now