Menjelang Akad

3.6K 20 6
                                    

Hari yang sangat bersejarah itu akhirnya tiba.

Aku dan Pak Ardhan akan menikah. Benar-benar sebuah pernikahan sungguhan yang melibatkan banyak canda tawa bahagia dan juga keluarga. Saudara-saudara Ayah dan Ibu dari seluruh pelosok tanah air tiba meskipun tidak lengkap.

Hanya perwakilan-perwakilan saja, hanya istri atau suaminya.

Persiapan yang jika ditotal-total pas lima hari seperti waktu liburku. Pak Ardhan mengurus segala legalitas dibantu oleh rekan-rekannya, sedangkan untuk upacara adat, orang tuaku meminta bantuan Mbokde dan Pakde dari pulau Jawa.

Malam sebelumnya, rumah kami mengadakan acara pengajian bersama para tetangga dan keluarga. Pada kesempatan itu, aku juga meminta doa restu dari para orang yang dituakan dalam keluarga.

Suasananya sangat syahdu apalagi saat Ayah dan Ibu menangis ketika aku memohon maaf dan ridha dari mereka.

“Nadila, Nduk Cah Ayu.” Ayah tercekat saat mencium pucuk kepalaku.

“Terima kasih sudah memilih pasangan yang tepat, bisa jadi suami sekaligus teman Ayah bernostalgia.” Entah kenapa Ayah mengatakan hal yang menggelikan seperti itu, tapi  justru membuatku terharu karena bisa memberikan teman bermain untuknya. Mungkin nanti mereka bisa bernyanyi bersama, lagu gelas-gelas kaca atau jangan ada dusta di antara kita.

Ibu lebih drama lagi, banyak nasehat-nasehat yang diberikan mulai dari urusan dapur, sumur, kasur, benar-benar paket lengkap padahal tidak satupun semua itu terlintas dalam pikiranku.

Lagi pula besok lusa, aku dan Pak Ardhan harus kembali ke pulau Maratua.

Pernikahan ini harus terjadi agar Pak Ardhan bisa melindungi dan menjagaku dari Dimas. Dia butuh alasan yang kuat untuk melanggar janjinya sendiri, mengabulkan apapun keinginan Dimas termasuk menikahkannya denganku.

Pak Ardhan mau tak mau sering mengalah jika Dimas memaksa, seperti saat dia melamarku untuk anaknya. Semua dia lakukan di bawah paksaan karena Dimas mengancam akan melarikan diri ke luar negeri dan menghilang begitu saja. Tidak ada orang tua manapun yang tega membiarkan itu terjadi, apalagi Dimas memang sangat keras kepala.

Meskipun kutahu bukan itu saja alasannya. Dia sungguh-sungguh menginginkanku menjadi istrinya dan sebenarnya aku tidak keberatan, walau untuk saat ini agenda kami adalah menyelesaikan urusan dengan Dimas.

“Mbak, aku sudah install  VPN  di handphonemu,” bisik Raihan sambil menggerak-gerakkan alisnya. Aku menoleh sambil tertawa melihat wajah polos adik laki-lakiku itu. Apa yang sebenarnya ada dalam benak anak muda ini?

“Buat apaan sih, ini bocah aneh-aneh aja deh ya,” sergahku.

“Nonton film mantap-mantap, persiapan malam pertama.”

Rasanya aku tak bisa menahan untuk tertawa mendengarkan perkataan remaja SMA ini. Sampai-sampai kedua orang tua kami menoleh dengan sorot mata bertanya. Aku dan Raihan hanya menggeleng bersamaan.

Acara sudah hampir usai saat ponselku berkedip dengan nama Dimas di layarnya. Dua sisi hatiku berlawanan antara ingin sekedar mengetahui alasannya menghubungi dan juga takut kalau sampai dia mencium gelagat tentang rencana pernikahan kami esok hari.

“Dimas,” sapaku sambil mengunci pintu di kamar, padahal keadaan di luar sangat ramai karena sudah tiba di sesi makan malam.

“Assalamu’alaikum, Nadila. Apa kabar?”

“Wa’alaikum salam, Dimas. Baik.”

Dimas terdiam beberapa saat, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi begitu berat untuk diungkapkan.

GHOSTING (Terbit)✅Where stories live. Discover now