- Behind Cut (4)

136 54 13
                                    

"Jadi kau bertemu Soobin sejak saat itu? Kenapa tidak bilang padaku?" Kutatap malaikat di hadapanku dengan nanar. Alisku menyatu di bagian tengah, sedikit marah dan heran. "Kau kan tinggal bilang ada malaikat lain yang ingin membunuhmu."

Pemuda tampan ini menghembuskan napas berat. Dia menggunakan matanya untuk mencari di mana hatiku dan meluluhkannya. "Kau mau langsung mati, huh? Choi Soobin adalah tangan kanan tuhan, kau tidak tahu apa yang dia lakukan." Namun tetap saja, cara bicaranya cadas.

"Memangnya apa? Bukankah semua malaikat itu suci?" tantangku lagi.

"Jika begitu, aku bukan malaikat." Laki-laki yang biasa kupanggil Kai ini memejamkan mata dan menyandarkan tubuh pada sofa. Punggung tegap dan kaki panjang dilipatnya. Dia tak lupa untuk memeluk diri sendiri. Dia ingin terlihat seperti orang yang tersiksa atas ucapanku. Akan tetapi di mataku, Hueningkai lebih mirip seperti seonggok selimut yang dianggurkan.

"Ah, tidak lagi." Aku terdiam setelah berucap dengan lirih. Hueningkai mungkin merasakan dari posisinya saat ini, betapa cepatnya degup jantungku. Terlebih ketika jam ponselku tiba-tiba berbunyi.

Pandangan kami langsung mengarah ke piranti itu, membaca pengingat yang sengaja kupasang. Kemudian mata kami bertemu.

"Satu hari lagi, Sol Ahn," gumam Hueningkai. "Cepat ceritakan bagianmu."

Aku mengerutkan dahiku. "Serius? Kau bicara begitu?"

"Waktu kita kurang dari 24 jam. Apakah kau yakin tidak akan ada yang menganggu kita?" Pemuda berambut kecoklatan ini mengernyit, membuat gestur dengan jemarinya yang panjang.

Aku pernah mendengar nada suaranya yang begitu tinggi, nyaris sama seperti saat ini. Namun entah kenapa, kalimat pertama yang diucapkannya beberapa saat yang lalu lebih menakutkan. Membuatku terdiam karena hawa dingin yang menguar ditambah emosi yang bercampur aduk dari sorot matanya yang begitu gelap. Aku ketakutan, aku membeku dalam diam.

Seperti tenggelam di lautan setelah terseret ombak, aku tidak melihat apapun di hadapanku. Tidak ada. Namun, layaknya cahaya yang datang setelah badai berlalu. Tuhan mengirimkan malaikatnya padaku.

"Maaf," ucap Hueningkai seraya memegang tanganku. Langsung kutatap netranya saat itu juga. "Maafkan aku, Sol Ahn," ulangnya sekali lagi. Jemarinya yang panjang, menyelinap pada sela-sela jariku. Melalui punggung tanganku yang mungil, dia berhasil memelukku. Tidak benar-benar memelukku, hanya menggenggam tanganku. Namun Tindakan itu cukup untuk menekan suhu dingin yang mulai membekukan diriku. "Tenangkan dirimu, Sol Ahn. Aku yakin, badai pasti berlalu."

Aku mengangguk pelan.

"Air," Hueningkai menunjuk gelas bening di sebelahku, "minumlah."

Aku menuruti perkataannya dan meneguk cairan bening itu perlahan, membiarkan air mengusir rasa gugupku.

"Kau tidak akan tenggelam. Aku tidak akan membiarkanmu tenggelam, satu jengkal pun." Suara malaikat itu memasuki telingaku dengan lembut. Seperti telapak tangannya yang hangat, Hueningkai mengeluarkan hawa yang serupa menggunakan suaranya. Dia memberikanku dorongan agar terus hidup, agar aku tidak terbujur kaku.

"Aku akan melanjutkan bagianku," ucapku.

Hueningkai tersenyum tipis dan menurunkan dagunya, tanda bahwa dia sedang menyimak.

"Setelah pergulatan batin yang singkat, aku memutuskan untuk membawa pemuda ini ke kantor polisi yang berada di ujung jalan."

Night Talks || HueningkaiWhere stories live. Discover now