Chapter 19. A Glass of Water

43 19 3
                                    

Hueningkai menutup pintu kamar di depan mataku dengan keras. Ekspresinya mengatakan kekesalan atas apa yang telah dia alami. Entah sejak kapan, dia menahan rasa lelahnya sehingga tercipta raut muka sekelam itu. Seperti anjing yang ditinggalkan tuannya tanpa sebab dan bergelut dengan kehidupan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Aku pun teringat dengan ucapan Choi Soobin terkait identitas mereka berdua. Jujur, aku sempat takut setelah Soobin menunjukkan fragmen cahaya yang berkumpul di tangannya, terlebih ketika Hueningkai pulang dengan seorang pemuda tampan yang mengekorinya. Aku tidak tahu pemuda itu apa, tetapi atmosfir yang mendadak berat membuatku sesak napas. Jadi aku merasa bersyukur ketika Soobin menyuruhku hengkang dari lantai bawah. Meskipun demikian, suasana canggung di lantai dua, membuat leherku tercekik. Keluar kandang buaya, masuk mulut singa. Itulah situasi yang kuhadapi saat ini.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di ujung tangga. Mematung seraya menatap pintu kamar dengan penuh tanya. Di tanganku yang gemetar, terdapat segelas air yang sempat kuambil sebelum meninggalkan dua malaikat di lantai bawah. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi aku dapat merasakan tatapan curiga Choi Soobin yang ditutupi oleh lesung pipinya.

Kuhela napas dengan bingung. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengetuk kamar yang dimasuki oleh pemuda tinggi semampai itu.

"Hei," panggilku. Tentu saja, dia tak menjawabnya. "Hei, Hueningkai," panggilku sekali lagi kali ini aku sambil mengetuk pintunya. Kudengar desahan kesal dan pintu terbuka begitu saja.

Hueningkai bersandar pada ambang pintu dan bersedekap. Dia menatapku dengan mata sayunya. Rambut hitam itu tampak berantakan, sebagaimana jaket kulit warna hitamnya yang penuh kotoran. Celana jeans gelapnya bahkan tak bisa menyembunyikan betapa lusuh penampilannya saat ini.

Tiba-tiba Hueningkai menyambar air minum yang kubawa dan meminumnya sampai habis. Setelah itu dia menunjukkan wajah dinginnya padaku seraya menyodorkan gelas kosong. Bersikap tak acuh, lelaki itu langsung memutar tubuh dan merebahkan diri di kasur. Debu-debu berterbangan dengan liar. Kukipaskan tangan di depan mukaku demi menghalaunya.

Merasakan langkah kakiku yang mendekat, dia mengintip dari balik punggungnya. "Ada apa?" Suara yang selama ini begitu hangat, berubah menjadi dingin. Seolah beku oleh badai yang mengguyurnya semalam. "Katakan, ada apa?" Dia bertanya sekali lagi dengan lebih keras kemudian mengatur posisi duduknya. Merasa tidak mendapat apapun setelah menyaksikan reaksi mematungku, Hueningkai memutar bola matanya dan mendengus. Mulutnya hendak berkata-kata, tetapi kuputuskan untuk bersuara lebih dahulu.

"Soobin memberi tahu aku."

"Ha?"

Aku mendekat satu langkah dan menelan ludah. "Tentang semuanya. Maksudku, hal-hal yang sudah kuanggap mimpi."

"Baguslah," jawabnya singkat.

Aku tidak akan membiarkan percakapan ini berakhir dengan rasa canggung. Berdasarkan dua hari pengalamanku bersama pemuda ini, dia akan mengungkapkan kalimat pedas dan menyinggung akalku sebagai manusia. Akan tetapi, kali ini tak satu pun kalimat sarkas keluar dari bibirnya.

Hubunganku dan Kai memang sudah canggung dan aneh dari awal, tetapi jika semuanya berakhir seperti ini, aku tidak tahu harus menaruh mukaku di mana.

"Terima kasih." Aku mencoba mengucapkannya dengan lantang, tetapi entah mengapa malah terdengar seperti cicitan tikus sampai Hueningkai mengerutkan dahinya. "Kau sudah menyelematkanku saat di dermaga itu dan saat aku pingsan."

"Ada hal lain yang ingin kau sampaikan?" tanyanya seraya mengangguk.

"A-aku minta maaf." Sorot mata Hueningkai menuntutku untuk mengungkapkan alasan. "Maafkan aku, karena aku telah berbuat buruk padamu."

Sekali lagi, anggukan kepala Hueningkai membuat otakku berhenti berpikir. Aku rasa dia memaafkanku, tetapi jauh di dalam hatiku, aku tidak ingin anggukan setengah enggan itu mengakhiri segalanya. Karena itu pula, keluarlah sebuah kalimat bodoh yang mendorong suasana ini menjadi semakin chaos.

"Tuhan tidak akan memasukkanku ke neraka karena perbuatanku, kan?"

Hueningkai tampak tersentak. Salah satu sudut bibirnya terangkat dan dia memalingkan muka dengan segera. Lelaki itu mengusap mukanya sejenak kemudian berujar, "Kemarilah, Sol Ahn." Mendengar hal itu, aku langsung berubah menjadi biarawati yang menaati perintah dari utusan Tuhan untuk menghadapnya. Langkahku lebar dan tepat, lalu berlutut di lantai. Di luar ekspektasiku, Hueningkai mengernyitkan dahi sembari menahan tawa. "Apa yang kau lakukan?"

Pemuda itu menarik napas dan melayangkan sorot mata yang tajam pada iris kecoklatanku.

"Katakan padaku, apa kau percaya Tuhan?"

"Kau mau mengadili kepercayaanku atau apa?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Sadar bila aku mengucapkan hal yang bodoh, aku langsung menimpali, "Tentu saja aku percaya."

"Baguslah. Selagi kau masih hidup, percayalah pada-Nya." Hueningkai tersenyum simpul.

Aku mengendikkan bahu. "Bagaimana bisa aku tidak percaya jika aku sudah melihat ciptaan-Nya dengan mata kepalaku sendiri."

Ekspresi Hueningkai tiba-tiba berubah ketika mendengar perkataanku. Dia memutar bola matanya, mencari sesuatu yang tidak bisa kumengerti. Beberapa saat kemudian, dia kembali melihat ke dalam diriku, melalui mata yang mencerminkan kehidupan bak danau. "Siapa tahu?" Dia kembali merebahkan tubuh dan menatapku dari sudut kelopak matanya yang menyipit. "Jika kau hendak pergi, tolong tutup pintunya," dia mengembuskan napas, "hari-hariku cukup buruk dan aku ingin sendiri."

Pemuda itu memutar tubuhnya dan memunggungiku. Cukup lama aku memperhatikan punggung berbalutkan jaket kulit warna hitam. Rasa hampa sempat mampir ke sanubariku, melayangkan fragmen-fragmen beban yang berjatuhan dari punggung tak bersayap itu. Seketika aku mengangkat lututku dan duduk di atas tempat tidur. Sebelum Hueningkai membuka mulutnya, aku sudah menyiapkan prolog untuk percakapan kami.

"Ibuku adalah segalanya bagiku. Aku bersandar padanya setiap kali hal buruk terjadi padaku. Ayahku adalah seseorang yang taat. Sekalipun, beliau tidak pernah membokong kepercayaannya. Ibuku bekerja sebagai tutor piano, sedangkan ayahku menjalankan perusahaan rekaman lokal yang menyewakan alat musik, studio, dan keperluan rekaman lainnya." Tarikan napas berat mengakhiri narasi pembukaanku dengan penuh keambiguan.

Kupejamkan mataku untuk mengingat setiap detail yang kulihat. Peristiwa yang membuatku ingin melarikan diri dan pergi ke dunia ini.

"Kemudian di malam itu," dengan susah payah, kutelan saliva, "ayahku membunuh ibuku, tepat di depan mataku." Gelas kosong di tanganku tampak begitu rapuh saat kuperhatikan. Jemariku yang gemetar menekan piranti tersebut dengan kuat, mencoba membuat emosiku stabil.

Sekelebat memori menyakitkan terlintas di benakku layaknya mimpi buruk di tengah badai.

Night Talks || HueningkaiWhere stories live. Discover now