Chapter 12. Two Mockingbird

73 27 16
                                    

Aku tak akan berlari jika itu bukan dirinya. Aku tak akan repot-repot membasahi pakaian baruku yang kali ini kudapatkan dengan uang walaupun itu bukan uangku. Aku tidak akan memotong pembicaraan penting yang tengah kulakukan bersama malaikat perang. Aku tidak akan berlaku sebodoh ini jika manusia yang tengah menggigil di bawah hujan itu bukanlah Park Sol Ahn.

Dia membawa jaket lusuhku bersamanya. Gadis itu bahkan memeluknya sembari merintih. Entah apa yang terjadi padanya. Yang jelas, aku tidak memikirkan apapun kecuali menyerahkan kantong plastik berisi bahan makanan pada Choi Soobin yang kemudian meneriakkan namaku dengan lantang. Jika dia bukan malaikat, mungkin sumpah serapah sudah keluar dari mulutnya. Mau disumpahi seperti apapun, aku juga tidak peduli.

Park Sol Ahn, aku bertemu dengannya kurang dari 24 jam. Dan selama itu pula, aku tidak tahu kenapa selalu bertemu dengannya lagi dan lagi. Entah aku yang menghampirinya, atau dia yang menghampiriku, seperti saat ini. Aku tidak memikirkan kemungkinan ini sebelumnya, tetapi setelah aku mengacaukan hubungan kerjasamaku dengan Choi Soobin, sesuatu menghantam dadaku.

"Kau kenapa membawanya ke sini, Kai? Kau membaringkannya di sofa dan memberikannya selimut paling lembut yang kumiliki." tanya Choi Soobin sekali lagi sambil mengocok telur dengan sumpit besi. Alisnya melengkung ke atas dan menyatu, membuat dahinya berkerut sedikit. Bibirnya manyun-manyun seperti remaja puber yang protes. "Hei, jawab aku!" bentaknya kemudian.

Menyadari bahwa aku tak akan menjawab satu pun dari perkataannya, Choi Soobin membanting mangkok plastik berwarna hijau di tangannya yang lebar. Bunyinya bergema, memecah keheningan dan membuat deru hujan di luar sana bukanlah apa-apa.

"Astaga, Hueningkai." Malaikat itu mengusap wajahnya. "Kita tadi sedang berbicara, tentang sesuatu yang penting, bukan begitu?" Dia menghantam kabinet dapur. "Hei!"

"Aku mendengarkanmu! Aku mendengarkanmu!" jawabku dengan cepat.

Malaikat itu mencoba meniru cara manusia mengembuskan napas ketika sedang marah. "Katakan padaku apa yang kau dengar?"

"Aku berhenti menangkap omonganmu setelah kau bilang, 'Aku membaca dokumen rahasia surga.' Maaf." Kuusapkan kedua tanganku, mencoba mencari kehangatan yang sebenarnya tidak terlalu kubutuhkan. Ingat, aku terbuat dari cahaya dan cahaya itu hangat.

"Kau serius, Hueningkai?" Aku tidak menatap Soobin, tetapi aku tahu dia tengah membuat ekspresi muak yang selama ini kuhindari. "Sekarang aku tahu alasanmu dikeluarkan dari pasukan malaikat perang. Kau berhenti mendengarkan strategi komandanmu setelah dia mengucapkan salam."

"Hei!" Kali ini aku yang membentaknya. "Jangan membuka luka lama, Sobat. Ulang saja apa yang kau ucapkan padaku tadi. Aku akan mendengarkanmu."

"Kau yakin? Aku tidak yakin." Alisnya yang naik sebelah, membuatku muak.

"Sebenarnya, kau ini butuh bantuanku apa tidak?"

Choi Soobin kembali menatapku. "Aku butuh umpan yang bagus, Kai. Dan sekarang lihat dirimu. Aku bahkan tidak yakin." Malaikat itu menyalakan kompor listrik dan meletakkan margarin di atas teflon anti-lengket.

"Hartamu banyak sekali di sini, ya? Apa Tuhan memfalitasi semua ini untuk malaikat perang? Hm?"

"Baiklah-baiklah. Akan kuulangi." Mendengar ancaman tak langsungku, Choi Soobin menuruti perkataanku. "Aku membaca dokumen rahasia di kantor intelijen langit," ujarnya sambil menuangkan telur ke atas penggorengan. "Ada sesuatu yang janggal dari malaikat pengawas."

"Daerah mana?" tanyaku.

"Kota ini." Kali ini Choi Soobin meletakkan mangkoknya dengan perlahan. "Kau tahu sendiri kan, laut yang semalam kau selami itu termasuk dalam teritori seorang iblis yang...."

"Kejam. Oke, lanjutkan."

"Dan laporan itu mengatakan bahwa malaikat pengawas dibunuh oleh iblis teritori ketika hendak mengirimkan laporan terakhirnya ke langit." Mata Choi Soobin terasa begitu menusuk.

Aku terdiam sejenak, berpikir. "Tunggu, di mana janggalnya? Bukankah iblis memang seperti itu?"

"Menurutmu siapa yang mengirim laporan itu?" Choi Soobin menunjukkan dagunya padaku, mencoba menantang.

"Malaikat lain, kan? Malaikat yang kemudian akan menjadi pengawas daerah ini." Tentu saja aku tahu, pengetahuan ini adalah hal yang lumrah bagi kami. "Apa yang aneh? Dia ditempatkan di sini, menulis laporan dan mengirimkannya ke langit, mengawasi dunia fana dengan begitu bahagia karena bisa menatap siang dan malam sekaligus. Serius, daripada menjadi penjemput arwah, aku lebih memilih menjadi pengawas."

Choi Soobin berpaling sejenak dan mengecek telur dadarnya. Setelah itu, dia berkata, "Sepertinya aku membuat kesalahan." Kusipitkan mataku. "Seharusnya aku membunuhmu seperti yang Dia perintahkan."

Lalu malaikat itu merentangkan tangan kanan dan menarik sejumput udara antara jari telunjuk dan tengahnya. Secerca cahaya yang padat muncul di sana, berkilauan bagai kaca yang tajam.

"Oi oi oi, apa yang kau lakukan?" protesku.

"Membunuhmu," jawab Choi Soobin, dingin.

Kutelan ludahku. "Kupikir kau sudah percaya padaku."

"Ya, kalau begitu buat kau sedikit berguna." Soobin berujar kemudian memulai hituangan mundurnya. Aku tidak bisa membedakan yang mana ancaman dan yang bukan. Terutama jika orang yang melakukannya adalah Choi Soobin. Aku ingat saat dia dijahili seorang malaikat perang dan Soobin benar-benar menjatuhkannya ke tempat pandai senjata. Anehnya setelah itu, Soobin tertawa lepas. Ya, seperti takdir, Choi Soobin selucu itu.

Seperti takdir. Aku tidak ingin bertemu dengan Sol Ahn, gadis itu mungkin juga berdoa demikian. Namun Tuhan memang suka memainkan takdir, Dia mempertemukan kami. Tunggu....

"Park Sol Ahn," ucapku dengan tegas.

"Ya, ada apa dengan gadis itu?" Tanggapan Soobin tak membuatnya menurunkan tangan dan bidikan.

"Alih-alih aku, kau bisa menggunakan dia sebagai umpan." Mendengar saranku, alis Soobin terangkat sebelah. Dia meminta penjelasan lebih. Namun, malaikat itu malah membuat kaca cahayanya lebih besar dan panjang. "," pintaku ketakutan.

Seolah tak mendengarkanku Soobin masih membuat cahaya itu lebih runcing. Dengan muka dinginnya yang membidik dadaku tanpa ampun, dia melesatkan potongan berkilau itu ke arahku, ke-a-rah-ku. Aku memejamkan mata, takut kalau aku bisa buta ketika kilatan itu mendekat. Walaupun itu pun percuma, karena aku akan mati. Namun, urung sempat aku merasakan sakit, kudengar tawa menggelegar Choi Soobin di balik kabinet dapur.

"Hahahahahahaha! Hueningkai lucu sekali!" gelaknya seraya memegangi perut.

Kutengok dadaku, tidak berlubang. Tubuhku utuh. Akan tetapi ketika aku melirik ke samping, cahaya itu menancap di lantai sebelahku. Pada karpet merah bermotif kecoklatan yang autentik. Jika diperhatikan, jarak antara kematianku dan diriku sendiri adalah kurang dari satu senti.

Dengan jantung yang berdegup kencang, kutatap Choi Soobin. Tawanya telah berhenti dan dia tersenyum hangat. Di tangannya sudah terdapat dua piring roti panggang dan omelet yang dibagi dua. Malaikat dengan selera humor yang aneh itu meletakkan masakannya di atas kabinet dapur. Satu dihadapanku dan satunya di sampingku, seolah memberikannya pada kursi hitam yang kosong.

"Makanlah," Soobin menatapku, lalu berganti arah ke sosok lain di belakangku. "Kau juga."

Refleks, kutolehkan kepalaku dan melihat Park Sol Ahn duduk di sofa merah marun. Gadis itu menatap kami dari balik selimut tebal.

Night Talks || HueningkaiWhere stories live. Discover now