15. Angin Pembawa Pesan

2.5K 593 107
                                    

Maafkan atas segala typo dan kekurangan.

...

Rait's Present

...

Dinginnya hutan melingkupi kaki gunung membuatnya bak dibungkus embun dan kabut tipis. Ada sebuah jalan menanjak di sana. Dinaungi oleh pohon-pohon oak yang berjejer rapi. Kuda milik mereka berdiri sejajar di depan jalan kecil itu. Memperhatikan sekitar untuk sekedar meminimalisir hal yang tak diinginkan. Setelah dipastikan keadaan aman seratus persen, kaki kuda itu kembali melangkah membelah jalan.

"Kita akan berhenti di tanah lapang dekat sini. Jalan menuju gerbang Suku Cahaya. Sebelumnya aku ingatkan untuk menjaga mata kalian." Ketiganya mengernyit tak paham dengan maksud perkataan Renjun. Mengapa harus menjaga mata? Apa sesuatu yang buruk akan terjadi?

"Kenapa harus?" Jeno bertanya dengan dahi mengerut. Berharap pada Renjun agar segera memperjelas maksud dari ucapannya.

"Paras mereka. Terlalu rupawan. Bisa-bisa kalian tidak berpikir jernih saat menatap wajah mereka." Penjelasan itu sontak membuat Jeno memutar kedua bola matanya malas. Hal seperti itu harus diantisipasi? Sukunya juga punya banyak orang berparas rupawan. Jadi untuk apa mengkhawatirkan hal semacam itu?

Tungkai panjang kuda mereka melangkah konstan dan membawa mereka pada tempat tujuan yang Renjun maksudkan tadi. Sebuah tanah lapang yang disinari begitu banyak cahaya. Amat terang benderang. Tanahnya beralaskan rerumputan hijau dan bunga-bunga kecil.

Ada sebuah pondok kayu kecil di sana. Dibangun di bawah pohon apel berdaun dan berbuah lebat. Di atasnya duduk seseorang yang diyakini berjenis kelamin lelaki dengan posisi membelakangi mereka. Badannya dibalut oleh kain satin berwarna putih. Surai pirang terangnya bergerak-gerak kecil ditiup semilir angin. Tangannya memegang sebuah dandelion kering. Kulitnya begitu bersih berseri tersapu oleh sinar mentari. Dan di saat telinganya menangkap suara tapal kaki kuda, dengan segera ia berbalik badan ke arah mereka.

Senyumnya berseri, begitu cantik. Mata beriris kuning dengan paduan biru itu melengkung begitu indah. Tubuhnya bergerak menuruni pondok untuk segera berlari menyambut mereka. "Selamat datang, Renjun. Lama tak berjumpa."

Sapaan lembut itu memenuhi telinga. Menyapa dengan sopan indra pendengaran. Senyumnya berkali lipat lebih menawan jika dilihat dari jarak yang begitu dekat.

Renjun hanya mengangguk pelan dan memperhatikan sekitar. Saat dirinya hanya menemukan kesunyian, dengan segera tatapan Renjun mengkilat. Dirinya menatap marah lelaki indah di hadapannya. "Sudah berapa kali aku ingatkan padamu untuk tidak datang sendirian? Kenapa kau ini keras kepala sekali sih! Datang dengan apa kau kemari?!"

Lelaki itu terkikik. Dirinya menatap Renjun dengan pandangan jenaka. "Seperti biasa. Selalu marah-marah. Aku datang dengan kuda milikku. Aku mengikatnya di bawah sana." Jemari lentik itu menunjuk sebuah pohon besar. Dapat dilihat seekor kuda putih diikat di balik pohon itu.

"Lagi pula kau ini selalu khawatir denganku. Aku tidak selemah itu, Injun." Lelaki itu kembali menimpali. Pandangannya yang sedari tadi terpaku pada Renjun dialihkannya pada manusia-manusia lain yang ikut serta dengannya. Lelaki itu kembali mengulas senyum yang sangat indah.

"Halo. Namaku Jaemin. Selamat datang di Suku Cahaya."

Namun dirinya tidak kunjung menerima balasan sapaan yang baru saja dilontarkannya. Ditatap satu-persatu teman-teman yang dibawa renjun ini. Yang bersurai paling gelap menatapnya dengan mata berbinar disertai senyum yang begitu lebar. Jaemin memekik dalam hati. Wajahnya sangat menggemaskan!

Lelaki yang bersurai biru terlihat begitu acuh. Dirinya hanya memerhatikan sekitar dan sesekali menatap lelaki bersurai hitam itu. Sedangkan yang satunya lagi yang bersurai putih hanya terpaku menatap dirinya dengan mata tak berkedip dan mulut menanganga. Jaemin mengedip-ngedipkan matanya perlahan. "Jadi... kalian?"

HORIZON : Markhyuck ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora