1 ✈ Kakek yang Berpura-pura Buta

27 4 10
                                    

Prima memarkirkan mobilnya saat tiba di kantor. Mobil bergerak mundur perlahan, bersamaan dengan pandangan Prima yang memantau kaca spion. Suara pendeteksi jarak mundur juga tidak bersuara, artinya tidak ada objek apapun di belakang mobilnya selain jalanan aspal yang masih baru.

Aman. Masih aman. Sebentar lagi, Prima menyelesaikan parkirnya.

Namun, terdengar teriakan nyaring dari belakang mobilnya. "Aaaa!"

Prima mengerem mendadak. Bukankah tadi tidak ada objek apapun di belakang mobil, kenapa sekarang mobilnya seakan menabrak sesuatu?

Dengan bergegas, Prima menarik tuas rem tangan lalu keluar dari mobil. Terlihatlah seorang Kakek dengan berkacamata hitam dan sebuah tongkat sedang telentang di jalan aspal itu. Jarak si Kakek dengan jarak mobil Prima memang sangat dekat.

Sesaat di pikiran Prima adalah "Kalau benar aku menabrak Kakek ini, harusnya suara pendeteksi mobil akan lebih cepat terdengar, lalu kalau benar aku menabrak Kakek ini, pasti aku bisa ngerasa ada benturan dari belakang mobil". Demikian asumsi Prima.

Terlepas dari asumsi itu semua, ia lebih mementingkan untuk segera menolong si Kakek. Terlebih, ia iba melihat Kakek yang sepertinya buta itu.

"Kek, Kakek nggak apa-apa? Maaf saya nggak sengaja. Saya bantu Kakek bangun, ya," Prima segera merangkulnya dan membantunya berdiri, tetapi si Kakek meminta duduk sejenak.

"Punggung saya sakit."

Mendengar itu, Prima semakin merasa bersalah. "Aduh, maaf ya, Kek. Kakek rumahnya di mana? Biar saya antar pulang," tawar Prima. Ia tidak peduli lagi dengan jam kantornya yang sudah dimulai, lebih baik menolong si Kakek itu lebih dulu.

Mendengar hendak diantar pulang, si Kakek justru tampak lebih kuat, ia bisa bangun sendiri tanpa bantuan Prima. Prima hanya berkedip, merasa heran.

"Eh, tongkat saya mana?" tanya Kakek, sambil meraba-raba dengan kakinya.

Prima pun memberikannya, sekaligus menuntun Kakek agar bisa masuk ke mobilnya. Mereka pun berangkat.

"Rumah saya di dalam Menara Monas."

"Kakek tinggal di dalam Menara Monas?"

"Bukan, maksud saya, di seberang Monas, ada persimpangan, lalu masuk ke jalan, lalu masuk lagi ke dalam gang. Nama gangnya Menara Monas. Rumah saya di situ."

"Berarti bukan di Monas, iya kan, Kek?"

"Tadi saya bilang apa, ya? Monas atau Dufan?"

Prima tersenyum. Sepertinya si Kakek memang sudah pikun. "Tadi Kakek bilang Monas."

"Oh, iya," Kakek lalu menjelaskan kedua kali lokasi rumahnya. Prima mengangguk mengerti.

Saat berhenti di traffic light, Prima membaca Whatsapp dari Mami, ia diminta oleh Mami untuk berbelanja sepulang dari kantor.

Saat sedang mengetik balasan, bersamaan dengan itu, lampu merah kini berubah menjadi hijau. Prima yang belum sadar lalu ditegur oleh Kakek. "Itu lampunya udah hijau, lho. Buruan jalan. Kasihan pengendara di belakang yang lagi nunggu."

Refleks, Prima segera menjalankan kembali mobilnya. Sesaat ia pun sadar akan sesuatu.

"Kakek ini nggak buta?"

"Kek, maaf, boleh saya tanya?" tanya Prima hati-hati.

"Kamu mau tanya saya buta atau tidak? Saya ini tidak buta," jawabnya melepas kacamata.

Prima merasa speechless. Bingung hendak berkata apa lagi. "Maaf, Kek, saya kira tadi...."

"Tidak apa-apa. Pakai kacamata hitam begini saya seringkali dianggap buta. Saya senang malah, sekaligus bisa melihat nurani manusia."

Prima mengangguk, walau sedikit tidak mengerti.

"Kopi buatan istri saya enak sekali, nanti kamu ikut minum kopi bareng saya, ya," ucap si Kakek.

"Iya, Kek. Makasih banyak."

Akunya telat ngantor, malah ngopi. Ya udah deh, nggak apa-apa. Kasihan juga ini Kakek udah kutabrak tadi, batin Prima.

PRIMPARIS (Sekuel Travelprim)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang