3 ✈ Geng P.A.D

23 4 0
                                    

"Halo, Assalamu'alaikum, Prim? Nggak masuk kerja hari ini? Laporan masih banyak yang belum selesai, nih. Klien minta cepat diselesain," begitu suara via telepon dari seorang perempuan bernama Aeris Denisha, rekan kerja Prima di kantornya.

"Wa'alaikumussalam, maaf tadi ada kendala dikit, Ris. Ini aku lagi otw ke swalayan dulu, habis itu ke kantor."

"Iya-iya, Mbak Bos nyariin kamu juga tadi."

"Duh," keluh Prima. Mbak Bos adalah panggilan untuk atasan mereka, namanya Dinda, yang tidak lain adalah teman masa sekolahnya dulu. Dinda baru saja menikah, dan kini sedang hamil muda.

"Oke-oke, makasih, Ris."

"Iya, sama-sama, Prim."

Telepon berakhir. Prima lalu tiba di sebuah swalayan, sebagai amanah Mami yang memintanya untuk berbelanja. Daftar belanjaan juga sudah Mami kirimkan lewat pesan Whatsapp.

Usai berbelanja, Prima lalu menuju kantornya.

Sepanjang perjalanan ke kantor, Prima merasa tidak habis pikir. Tentang Kakek tadi, apakah ia harus melanggar janji?

Harus gitu, aku pergi ke Paris hanya gara-gara paspor tua?

Setibanya di halaman kantor, Prima mencari tempat parkir yang lain. Tempat sebelumnya masih tampak kosong, tetapi ia takut parkir lagi di tempat yang sama.

Masa aku harus ke Paris, sih? Logis? batinnya sekian kali.

Setelah itu, ruangan Mbak Bos menjadi tujuan utamanya. Dengan langkah cepat, ia ingin mengutarakan maaf karena datang terlambat.

"Prim, ke mana aja baru datang jam segini?" sambut Dinda saat Prima masuk ke ruangannya.

"Maaf, Mbak Bos, tadi nabrak orang."

"Hah? Terus gimana?"

"Baik-baik aja, sih."

"Alhamdulillah."

Baik-baik aja, sih, tapi akunya disuruh nge-trip, jauh banget lagi, batinnya kian menjadi.

"Kenapa melamun?"

"Eh, nggak apa-apa. Aeris ada di ruangan nggak?"

"Ada kayaknya. Baru aja ke sini tadi, dia ngasiin aku manisan buah. Kamu mau?"

Baru saja Dinda beranjak hendak mengambil makanan itu, tiba-tiba ia justru berlari menuju toilet. Terdengar suaranya sedang mual dari dalam sana. Tidak lama, ia pun keluar lagi. "Maaf ya, Prim. Nggak bisa kutahan. Mual banget. Ntar kalau kamu udah punya istri, pasti paham, deh."

Prima tersenyum. "Yang sabar ya, bumil."

Dinda tersenyum. "Udah buruan kerja, Aeris sama Danang lagi nyelesain laporan."

"Oke, siap. Makasih, Mbak Bos."

Prima menuju ruangan kerjanya. Ruangan berdinding kaca yang di dalamnya ada tiga orang staf, yakni Aeris, Danang, dan dirinya sendiri. Ruangan itu dilengkapi AC, tiga pasang meja kerja sekaligus komputer, serta sebuah tanaman hias di sudut ruangan.

"Assalamu'alaikum, maaf telat, geng," ucap Prim dengan sapaan khusus bagi Aeris dan Danang. Keduanya menjawab salam, lalu Danang pun menggerutu, "kerjaan lagi banyak-banyaknya, nih. Dasar."

"Hehehe. Iya, sori."

Danang kembali mengetik komputernya, disusul Aeris. Kini tiga orang di dalam ruangan itu menghadap komputer masing-masing, sekaligus berhadapan dengan susunan laporan advertise yang harus diselesaikan.

Tentang Danang, dia adalah pria berkacamata berusia 27 tahun. Seminggu lalu baru saja mengkhitbah seorang perempuan, yang merupakan teman masa kecilnya, tetangganya sendiri.

Sedangkan Aeris, usianya 26 tahun. Berniat tidak akan pacaran, hingga lelaki soleh datang melamar. Tampil syar'i juga menjadi prioritas baginya.

Aeris tampak mengenakan hijab panjang berwarna pink. Ia kini menghampiri Prima, sambil membawa beberapa berkas. "Ini udah kubantu sebagian."

Prima berkedip, tentu merupakan keberuntungan karena telah dibantu. Namun, di sisi lain ia merasa tidak nyaman. "Makasih, Ris. Maaf ngerepotin, janji deh, nggak bakalan telat lagi."

"Janji harus ditepatin, lho," celetuk Danang sambil mengelap kacamatanya. Mendengar itu, Prima merasa di-sekakmat. Teringat janjinya dengan si Kakek. Kakek yang berpura-pura buta, berpura-pura serangan jantung, dan berpura-pura lainnya yang Prima sendiri tidak paham mengapa.

"Engg... Kalau nggak ditepatin gimana?" tanya Prima ragu.

"Dosa, lah. Iya kan, Ris?" jawab Danang.

Aeris mengangguk. "Ingat nggak hadis Nabi? Ada tiga ciri orang munafik: bicaranya bohong, nggak tepat janji, terus nggak bisa jaga amanah. Jadi, kalau kita berjanji, ya harus ditepati."

"Tuh, dengerin Bu Ustazah," jawab Danang lagi, membuat Prima tampak pucat.

"Prim, aku salah ngomong, ya? Maaf," tanya Aeris saat melihat perubahan ekspresi Prima.

Prima menggeleng. "Nggak apa-apa. Bagus malah, dapat ilmu baru siang begini. Makasih, Ris."

"Aku nggak di-makasih juga?" goda Danang kemudian, membuat Prima tersenyum tipis.

"Jangan lupa ntar sore kursus. Aku jemput, ya," ungkap Danang. Ia dan Prima sudah sebulan terakhir mengikuti kursus bahasa Inggris. Itu sebabnya Prima kini sudah sedikit mahir.

PRIMPARIS (Sekuel Travelprim)Where stories live. Discover now