2 ✈ Jebakan Janji

21 3 0
                                    

Setibanya di rumah si Kakek, di terasnya tampak ada dua buah kursi rotan dan sebuah meja kayu kecil. Di atas meja kayu itu terdapat dua cangkir berisikan minuman kopi. Kakek mempersilahkan Prima untuk duduk dan mencicipi minuman itu.

Prima merasa kedatangannya seakan sudah dipersiapkan oleh si Kakek. Kian aneh.

"Kek ...."

"Kenapa? Kopinya baru saja dihidangkan, kok. Ayo diminum," ucap Kakek yang lebih dulu menyeruput kopinya.

Prima pun ikut melakukan hal yang sama, diawali basmalah. Betapa takjub dirinya setelah itu, merasa kopi itu benar-benar nikmat. "Belum pernah saya minum kopi seenak ini, Kek."

"Alhamdulillah. Sudah saya bilang kan, kopi buatan istri saya itu memang enak."

Baru saja meneguk lagi kopi itu, Kakek lalu terbatuk-batuk. Cangkir yang ia letakkan di meja bahkan tumpah sedikit akibat tidak mampu menahan batuknya yang kian kuat.

"Kek, Kakek kenapa?" Prima lalu berdiri, mendekati si Kakek. Kakek masih saja terbatuk, jarinya memegang dada.

"Apa ini serangan jantung? Ya Allah." Pikiran kalut Prima mulai muncul.

"Uhuk, uhuk! Dada saya sakit."

Prima menoleh, memandang pintu rumah yang terbuka. Ia berteriak semampunya, memanggil istri Kakek yang barangkali ada di dalam sana, "Nek, Nek! Tolong!"

Kakek justru menggeleng, memintanya untuk diam. Prima sendiri tidak mengerti mengapa.

"Saya hanya ... uhuk, uhuk!"

"Kek, tarik napas pelan-pelan."

"Uhuk, uhuk! Saya hanya tahu satu hal. Kamu itu baik, Prima. Uhuk, uhuk!"

Prima melongo. Kakek ini tahu namanya. Bagaimana bisa?

"Janji sama saya, Prima."

"Apa, Kek?"

"Uhuk, uhuk. Kamu harus janji dulu untuk satu hal."

Disamping merasa panik, Prima mengiyakan kemauan Kakek. "Iya, janji," ucap Prima tegas. Ia tahu, janji harus ditepati.

Dengan masih terbatuk-batuk, Kakek berusaha mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah paspor usang.

Prima membuka lembar paspor itu. Ada foto seorang wanita berhijab, biodata diri, serta tanggal yang menunjukkan bahwa paspor itu sudah habis masa berlakunya. Satu hal lagi yang membuat Prima merasa heran, paspor itu adalah paspor negara Perancis.

"Uhuk, uhuk! Kamu kembalikan ini. Janji sama saya."

"Kek, saya nggak kenal sama yang punya paspor ini."

"Ya makanya kamu cari. Uhuk, uhuk!"

"Tapi, Kek, masa saya harus ke sana? Ke Perancis?"

"Tadi di awal kamu sudah janji."

Prima menghela napas. Apa lagi berikutnya? Apakah ia harus mengajak Bagas traveling lagi? Namun ia tahu, Bagas masih sibuk berbulan madu, berbeda dengannya yang masih sibuk menjomblo.

"Kek, maaf, barangkali Kakek bisa jelaskan sama saya, sebenarnya apa yang mau Kakek sampaikan?"

"Sebentar, saya batuk dulu. Uhuk, uhuk!" Setelahnya, Kakek tampak kembali bugar, tidak sakit lagi.

"Eh, Kakek udah sembuh?"

"Udah, cuma batuk biasa. Jangan khawatir."

Prima tidak habis pikir. Hari ini adalah awal bulan Desember yang dihiasi begitu banyak kejadian aneh.

"Saya tahu, kamu pasti mau liburan akhir tahun nanti, iya kan? Kamu tentu perlu penyegaran dari sibuknya aktivitas harian. Apa saya benar?"

Prima mengangguk pelan, ia memang berencana untuk pergi berlibur di akhir tahun. Begitu banyak hal yang Kakek itu ketahui tanpa perlu Prima jelaskan.

"Selain penyegaran, kamu juga harus cari satu hal lain lagi: pasangan."

Prima tersenyum malu-malu. Rasa herannya kini buyar, ia biarkan si Kakek untuk bicara.

Perbincangan mereka cukup lama. Sampai akhirnya Prima pun pulang. Di sepanjang jalan, jarinya terus saja memegang paspor usang itu sembari menyetir.

Rasanya nggak masuk akal, batinnya.

Tapi aku udah telanjur janji, gimana?

Prima sedikit merasa resah. Baginya, Mami adalah orang pertama dan terpenting yang harus tahu tentang ini setelahnya.

PRIMPARIS (Sekuel Travelprim)Where stories live. Discover now