4 ✈ Ragu-ragu

21 3 4
                                    

Prima pulang ke rumah pada pukul dua siang. Mami menyambutnya lalu mengajak makan siang bersama. Usai makan, Prima pun memulai sesi curhatnya.

"Mami. Gimana reaksi Mami saat ngalamin hal-hal yang nggak masuk akal?"

"Hah?" Mami heran dengan pertanyaan Prima, "maksudnya?"

Prima pun mulai bercerita tentang si Kakek. Mami merespon dengan beragam ekspresi, antara ingin percaya atau merasa itu hanyalah ulah orang iseng.

"Zaman sekarang banyak yang suka nge-prank," ucap Mami, dibalas anggukan Prima.

Untuk lebih meyakinkan, Prima mengeluarkan paspor usang itu dari saku celananya. Mami lalu membacanya dengan begitu serius.

"Lily Darilynn. Lahir tanggal 16 Mei 1969. Hah?! Masa kamunya disuruh cari pasangan seusia Mami?!" Mami mendadak heboh, sedang Prima ikut terbelalak sebab ia sendiri belum membaca semua biodata yang ada di situ.

Mami meletakkan kembali paspor itu. "Mami ragu, Prim. Nggak usah pergi, ya."

Prima hanya mengangguk. Bukan persoalan betapa tuanya usia si wanita, tetapi ada perasaan yang membawanya begitu penasaran hendak pergi. Prima sendiri tidak mengerti mengapa. Prima tetap diam, tidak mengatakan itu pada Mami.

Setelah Asar, Danang datang menjemput. Lokasi kursus tidak jauh dari rumah Prima. Keduanya pergi dengan menggunakan mobil.

Tiba di tempat kursus, beberapa teman mereka juga sudah hadir di sana. Mayoritas adalah orang dewasa, bahkan ada pula yang berusia lanjut. Tetap bersemangat untuk belajar.

Mr. Andi, begitu sapanya, selaku guru kursus menyambut mereka dengan ramah. "How are you today?"

"I'm fine. Thank you. And you?"

"I'm very good. Thank you. Baik, sebelum mulai, kita rapikan dulu posisi duduknya. Hm, Bu Wati, bisa pindah duduk ke depan? Ini kursinya kosong," ucap Mr. Andi pada Bu Wati, peserta kursus yang paling tua, usianya 55 tahun. Setelah wanita itu pindah ke kursinya, kini mereka siap belajar.

Kursus selama satu jam setengah pun selesai. Sebelum beranjak, Prima lalu bercerita pada Danang, ia masih butuh masukan dari beberapa orang, "Dan, Dan. Aku mau tanya. Soal tepat janji tadi siang, kalau terlalu berisiko gimana?"

"Gimana maksudnya, Prim? Nggak ngerti."

Agar tidak dianggap mengarang cerita, paspor usang itu pun Prima berikan pada Danang. Prima mulai bercerita tentang si Kakek.

"Beneran, aku mau minta pendapatmu."

Danang menggeleng, merasa heran dengan cerita Prima. "Karena kamu janjinya gara-gara panik, ya kukira nggak apa-apa deh."

"Bener nih, nggak apa-apa?"

Lalu Mr. Andi pun muncul, "Kalian belum pulang?"

"Oh, maaf, Mr. Andi. Kelamaan ngobrol," jawab Prima. Setelah pamit, keduanya lalu menuju mobil.

"Ada banyak hal yang kadang-kadang membingungkan, Prim. Tapi coba kamu pikirkan lagi. Keputusannya tetap di kamu. Kalau saranku sih, jangan percaya sama yang begituan. Konyol tau," ucap Danang sambil membuka pintu mobil.

Prima menghela napas. Ia merasa ragu, walau ia sendiri masih penasaran.

Dari mana Kakek itu tahu namanya?
Dari mana Kakek itu tahu bahwa ia ingin pergi berlibur di akhir tahun?
Dari mana pula Kakek itu tahu bahwa ia masih jomblo?

"Wajahku kelihatan kayak orang jomblo, ya," jawab Prima dengan suara kecil.

"Hah? Apa?" tanya Danang, merasa tidak yakin atas apa yang sekilas terdengar barusan.

Prima menggeleng sambil tersenyum. Malam ini ia harus memikirkan keputusannya matang-matang.

Tetap menepati janji atau justru mengabaikan.

PRIMPARIS (Sekuel Travelprim)Where stories live. Discover now