***
Satu bulan lebih berlalu setelah kejadian malam penuh gairah yang dilakukan Rama dan setelah itu hidupnya terasa masih sama dan damai bersama Shinta. Walaupun penyesalan kadang masih menyambangi hati, sebisa mungkin Rama bersikap normal menyembunyikan semuanya dari siapa saja. Tak dipungkiri kadang ketakutan itu menjadi mimpi buruk yang kerap ia alami. Rama seperti di kejar rasa bersalah.
[Aku hamil.] Satu pesan masuk ke dalam gawai Rama. Ia yang sedang bekerja sekonyong-konyong dibuat kaget.
[Yang pasti itu bukan anakku!] balasnya cepat menahan rasa sesak di dada.
[Usianya enam minggu. Dan kau pasti tidak lupa, kapan kita melakukannya?] balas pengirim pesan itu.
[Kau mau aku bertanggung jawab! Begitu? Bermimpilah!] Jawaban Rama terbaca sarkas.
[Aku sekarang di rumah orang tuamu. Oh, ya, jangan lupakan keberadaan istri cantikmu di sini.] balasan Fiola membuat Rama berdiri seketika dari kursi kerjanya dan secepat kilat menekan tombol panggilan untuk pengirim pesan.
Dadanya bergemuruh, rasa takutnya begitu memuncak. Dia tidak ingin Shinta mengetahui kebobrokannya dari mulut Fiola.
"Apa maumu?" tanya Rama saat panggilan mulai terhubung.
"Tanggung jawab," jawab santai suara di seberang sana membuat otak Rama mendidih seketika.
"Jangan bercanda! Bisa saja itu bukan anakku. Bisa saja kau melakukannya dengan orang lain setelah menjebakku waktu itu!" sarkas Rama penuh amarah.
"Kalau kau tak mau, aku beritahu saja orang tuamu."
"Kau jangan macam-macam, Fiola!"
"Cepatlah datang! Atau aku saja yang memberitahukan berita ini kepada keluargamu."
"Brengsek, Kau, Fiola!" teriakan Rama menggema. Pikirannya frustasi, dadanya bergemuruh, marah. Dengan tergesa-gesa, ia pergi dari kantor untuk ke rumah kedua orangtuanya tanpa memperdulikan sapaan dari beberapa pegawai kantor yang kebetulan bertemu.
***
"Dek! Ayo, pulang!" Rama terlihat penuh emosi saat tiba dan langsung masuk ke ruang tamu rumah kedua orangtuanya. Ia menarik tangan Shinta, ingin mengajaknya pergi dari sana.
"Mas," lirih Shinta sambil menahan tarikan tangan suaminya.
"Ram! Kau tidak mengucapkan salam?" ucap Wisnu, Papanya. "Duduklah dulu! Fiola, di sini. Ada yang mau dia utarakan. Duduklah dulu!"
Rama hanya bisa menghela nafas.
"Kau sudah datang, Ram?" Kini Widya yang datang dari arah dapur, membawa minuman dan dua toples camilan, sedangkan Fiola yang terlihat datang dari arah kamar mandi langsung ikut bergabung di ruang tamu.
Mereka duduk berlima di ruang tamu itu. Tidak ada yang bicara atau membuka percakapan."Begini Om, Tante ... Fiola cuma mau bilang ..." Fiola mulai membuka suara. Ucapannya tenang, tapi berbanding terbalik dengan kegelisahan Rama. Dadanya sesak, ada sebongkah ketakutan mengganjal di relung hati pria itu.
"Fiola sudah ...,"
"Aku akan menikahi Fiola," sela Rama yang membuat semua orang di ruangan itu kaget dan langsung menatap kearahnya.
"Mas," lirih Shinta seakan tak percaya. Netra itu masih terus menatap suaminya. Kaget? Tentu saja. Baru beberapa bulan yang lalu suaminya dengan lantang menyuarakan tidak akan mau bermadu dan kini dengan entengnya ia mengatakan ingin poligami. Shinta merasa seperti dipermainkan.
Widya pun ikut kaget dengan keputusan Rama. Baru sebulanan yang lalu, anaknya itu mati-matian menjelaskan agar mau memahami hati istrinya dan sekarang tanpa desakan dengan enteng Rama menyetujui perjodohannya. Entah harus bahagia atau sedih, widya pun ikut bimbang sekarang. Diliriknya wajah ayu sang menantu yang tampak pasi membuat Widya kian tak enak hati. Bagaimanapun di juga seorang wanita.

ESTÁS LEYENDO
Balada Ra-shi ( Tamat di Kbm-app)
RomanceCalista melangkah ringan menuju unit apartment Aditya, tunangannya. Hari ini rencananya dia ingin memberikan kejutan kepada tunangannya tersebut. Senyum terus tersungging di bibirnya dan tak terasa senandung lirih sering terucap dari bibir mungil C...