3.

249 30 0
                                    

"Engh."

Jeffrey mengerang kecil. Ada gangguan yang membuat tidur nyenyaknya barusan terinterupsi. Pria itu melirik sekilas. Ia kembali menjatuhkan kepalanya ke bantal sambil menampik tangan yang bermain-main di dada bidangnya.

"Gue masih ngantuk."

"Nggak mau main lagi?" tanya si wanita. "Yang di bawah sudah bangun lho."

"It's called morning erection, bitch," umpat Jeffrey. Ia berbaring menyamping, memunggungi sang lawan bicara. "Dan gue nggak mau main lagi. Sana pulang."

"Kalau mau, gratis kok."

Jeffrey menoleh ke belakang. "Nggak."

Tak mau kalah, wanita itu melingkarkan lengannya di pinggang Jeffrey. Tangannya meraba otot perut Jeffrey yang tercetak sempurna. "Kamu mainnya jago banget. Aku mau lagi. Boleh ya?"

Pria itu menghempaskan tangan yang menggerayanginya. Rasa kantuk berubah jadi kemurkaan. Beginilah resikonya kalau dapat lawan main di ranjang yang agresif. Padahal, Jeffrey lebih suka menjadi pihak yang mendominasi.

"Gue bayar lo. Seenaknya aja minta main lagi," kesal Jeffrey. Ia duduk di kasur dan mengambil celana boxer miliknya yang terserak di kaki tempat tidur. "Pakai baju lo. Pergi dari kamar gue."

"Nanti malam mau lagi?"

Jeffrey mendengus. "Andaikan gue mau lagi, gue nggak bakal mau sama lo."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Jeffrey berlalu ke kamar mandi. Ia sengaja membanting pintu, menggertak wanita sewaannya agar segera enyah. Jeffrey benci keributan di pagi hari. Suasana hatinya saat bangun tidur jadi tidak begitu baik.

Pebalap motor yang telah lima kali jadi juara dunia itu masih belum menyusun rencana untuk menghabiskan beberapa hari di Yogyakarta. Niat awalnya sudah selesai, menghadiri resepsi pernikahan seorang teman lama. Namun, entah mengapa Jeffrey memilih tak langsung pulang ke rumahnya di Sentul. Ia justru telah mengatur janji bermain sebentar dengan club motor selama di sini. Kalau Om Adam tahu, Jeffrey pasti akan kena amuk trainer-nya itu karena mangkir terlalu lama dari jadwal latihan.

Selama ini Jeffrey lebih sering menghabiskan waktunya di benua lain, tepatnya Inggris. Dia juga sering diikutkan berlatih dengan tim satelit di Italia. Sesekali Jeffrey akan berkunjung ke rumah orang tuanya di Bandung. Rumah miliknya sendiri di Sentul jarang sekali ditinggali. Jiwa petualang Jeffrey membuat pria itu terus berkelana, seperti tak mengenal jalan pulang.

Ponsel Jeffrey berdering nyaring. Jeffrey segera menuntaskan urusannya di kamar mandi dan menyambar benda berbentuk segiempat tersebut. Ada telepon masuk dari Ilham.

"Halo."

"Nanti sore ya? Jam tiga. Gue jemput aja," ucap Ilham dari seberang sana. Kemarin mereka sudah sepakat akan mengikuti road race bersama anak-anak motor lainnya.

"Sip."

"Semua perlengkapan sudah di gue. Lu tinggal bayar."

"Mantap, Om."

Jeffrey dan Ilham masih saling bertukar kata selama semenit sebelum sambungan telepon mereka terputus. Ilham ada urusan keluarga, sedangkan Jeffrey ingin makan pagi.

Pria itu tidak langsung bergegas mempersiapkan diri untuk sarapan. Jeffrey masih termenung memandangi ponselnya. Sesungguhnya, sejak kemarin, Jeffrey menunggu kontak dari seseorang. Ia sedikit menyayangkan keputusannya. Seharusnya, kemarin Jeffrey meminta nomor wanita itu secara langsung, bukan dirinya yang memberi nomor dan menunggu untuk dihubungi. Jeffrey benci menunggu.

Setelah meletakkan koper di kamar hotel, kemarin Jeffrey langsung bergegas mencari makan di mall yang langsung terhubung ke penginapannya. Ia makan dengan cukup lahap. Kalau tahu bandara baru Yogyakarta berada sangat jauh dari kota, Jeffrey sudah memilih makan dulu di bandara sebelum melanjutkan perjalanan ke hotel. Namun rasa menyesalnya hilang. Setidaknya, Jeffrey tidak rugi menahan lapar sedikit lebih lama jika pada akhirnya ia akan bertemu dengan seorang wanita menarik.

Sehabis makan, rencananya Jeffrey hanya ingin jalan-jalan sebentar sambil menunggu isi perutnya turun. Saat itu lah mata Jeffrey menangkap papan nama toko mainan. Seketika ia teringat dengan sebuah perusahaan miniatur yang belum lama ini merilis pajangan dengan tema motor racing. Seharusnya, miniatur motor Jeffrey pun ada di sana.

Sedang asyik melihat-lihat, Jeffrey tanpa sengaja melihat perempuan sedang berjongkok memeluk anak laki-laki. Posisinya tersembunyi, di balik rak, jadi Jeffrey tidak mengetahui keberadaannya. Kepalang tanggung, Jeffrey pun tidak enak hati jika langsung melipir. Alhasil, ia malah sedikit mencuri dengar pembicaraan si wanita dengan anak kecil tersebut.

Keduanya pergi. Jeffrey pun bisa bernapas lega karena tidak was-was dikatai penguping. Namun tidak lama. Si anak kecil kembali menghampiri rak berisi miniatur motor yang sedang Jeffrey lihat juga.

Iseng, saat itu Jeffrey mengajak bicara. Sosok anak tersebut sedikit mengingatkan Jeffrey pada dirinya di masa kecil. Dulu, Jeffrey juga pernah menangis karena tidak diizinkan beli mainan yang ia inginkan.

"Kok cuma lihat-lihat?" tanya Jeffrey, ia ikut berjongkok.

"Iya. Cuma dibolehin lihat sama Tante Shasha," lapor si anak.

Jeffrey tersenyum. Oh, ternyata wanita tadi adalah si tante.

"Suka sama yang ini?" tanya Jeffrey sambil menunjuk figurin motor berwarna biru bernomor 77.

"Iya. Aku suka Jeffrey. Kemarin dia menang lho, Om."

Om. Jeffrey sadar dirinya sudah berumur, jadi ia tidak masalah dengan panggilan itu. Ia suka bagaimana panggilan Om berbunyi dari mulut si anak kecil. Terlebih, anak itu adalah penggemarnya.

"Nama kamu siapa?"

"Raka," jawabnya lugas. Ia lalu menutup mulut. "Aduh, kata Mama aku nggak boleh bicara sama orang asing."

"Om bukan orang asing. Om ini Jeffrey."

"Jeffrey? Yang naik motor ini?" Raka bertanya dengan polos sambil menunjuk mainan di depannya.

Jeffrey mengangguk. Senyumnya makin lebar. Ia menunjukkan fotonya saat melakukan selebrasi di podium kemarin.

"Sama kan wajahnya?"

"Iya, bener. Sama. Om ternyata Jeffrey yang asli."

Jeffrey sukses tertawa. Ia berdiri sambil mengusap kepala Raka pelan. Jeffrey mengambil figurin di rak dan melihat harganya. Kini dia paham alasan si Tante Shasha melarang keponakannya untuk membeli barang di tangan Jeffrey ini.

"Kamu mau ini?" pertanyaan Jeffrey dihadiahi anggukan oleh Raka. "Om beliin."

"Beneran, Om?"

"Iya. Nanti Om kasih tanda tangan juga. Tapi kamu harus janji. Belajar yang bener."

"Siap, Om!"

Keputusan Jeffrey memberikan fans ciliknya hadiah ternyata berbuntut pada Jeffrey membuat marah si Tante. Pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam. Ini kali pertama Jeffrey bertemu dengan seorang wanita yang tidak langsung luluh dengan ketampanannya. Dengan tegas, pemberian Jeffrey ditolak.

Untung Raka cukup bisa Jeffrey andalkan. Anak kecil itu memeluk kakinya sambil merengek. Si Tante mau tak mau menurut.

Jiwa nakal Jeffrey keluar. Ia memanfaatkan momen saat wanita di depannya meminta nomor rekening untuk mengganti uang barang yang baru saja Jeffrey berikan pada sang ponakan. Jeffrey tentu saja tidak langsung menurut. Ia justru memberikan nomor ponsel, sedikit banyak berharap bahwa dirinya akan langsung dihubungi.

Tante Shasha. Hm, sepertinya sosok itu memang tidak mudah ditaklukkan. Jeffrey jadi tertantang.

Carpe DiemWhere stories live. Discover now