24.

232 28 0
                                    

Jeffrey menghela napas panjang. Perasaannya campur aduk. Namun, yang paling dominan saat ini adalah rasa kasihan. Melihat Gladis tidur meringkuk di kursi penunggu pasien membuat keinginan Jeffrey untuk melindunginya semakin besar.

"Jef, maaf. Aku nggak tahu kalau kamu ternyata di Malaysia. Kirain di Indonesia," ucap Ian yang berdiri tepat di sebelah Jeffrey.

"Nggak papa, Kak," balas Jeffrey. Tatapannya tak teralihkan sedikit pun.

Jeffrey mendengar kabar buruk itu dari Ian. Sebenarnya sudah lama dia tidak bertukar kabar dengan pria itu. Sejak hubungan Jeffrey dan Gladis menjadi dekat, Jeffrey tak perlu meminta Ian untuk menjadi mata-matanya lagi. Hingga ketika hubungan Jeffrey-Gladis merenggang seperti sekarang pun, Jeffrey tidak pernah menelepon Ian. Bahkan baik Ian maupun Silvi terlihat santai menyambutnya, sepertinya dua orang itu tidak tahu bahwa Jeffrey-Gladis sedang bertengkar hebat.

Saat makan malam sehari setelah pertandingan, Jeffrey menerima telepon dari Ian. Ian menceritakan keadaan Ayah yang harus dirawat di ICCU. Ayah terkena serangan jantung dan membutuhkan perawatan lebih lanjut. Tidak sampai situ. Gladis pun tampak terpukul. Sudah dua hari Gladis mengambil izin untuk menemani sang Ayah. Perasaan bersalah mengukungnya, membuat Gladis tak rela meninggalkan ruang tunggu keluarga pasien lama-lama.

Mengenai permasalahan awal, Silvi dan Ian juga tak tahu. Menurut kesaksian Mbak Ira, saat itu Ayah sudah jatuh, Gladis menangis sambil memangku kepalanya, tak jauh dari sana Niko berdiri mematung. Sampai sekarang Gladis tidak buka suara, Niko pun tidak bisa dihubungi.

Hanya dengan mendengar nama mantan kekasih Gladis itu, darah Jeffrey sukses mendidih. Dasar benalu. Selalu membuat masalah.

"Dia barusan tidur, Kak?" tanya Jeffrey.

"Iya. Dia susah banget tidur. Takut ada apa-apa kalau Ayah ditinggal tidur," kali ini Silvi menjawab.

"Maaf, Jef. Kita boleh nitip Gladis ke kamu dulu?" tanya Ian hati-hati. "Dari kemarin aku sama Silvi gantian jaga sama Gladis. Besok aku ada pertemuan di Surabaya, sebentar lagi harus berangkat naik kereta. Anak-anak kasihan di rumah sama Mbak Ira aja. Mereka belum ketemu Silvi dari kemarin."

Jeffrey tersenyum tipis. "Iya, Kak. Nggak papa. Aku jaga di sini."

Setelah Ian dan Silvi pergi, Jeffrey menghampiri Gladis yang masih tertidur nyenyak. Dengan pelan pria itu duduk di sebelahnya. Wajah Gladis terlihat benar-benar lelah. Kelopak matanya membengkak akibat terus-terusan menangis. Penelusuran mata Jeffrey berhenti di pipi kiri Gladis. Ada plester yang telah kotor menempel di sana, entah untuk menutupi luka apa.

Jeffrey berdiri dan pergi dengan tergesa. Sepuluh menit kemudian dia sudah kembali. Di tangannya terdapat satu plastik hasil belanjanya di minimarket rumah sakit. Ketika dirinya duduk, tanpa sengaja tubuhnya menyenggol tangan Gladis, membuat gadis itu tersadar.

"Maaf," ucap Jeffrey.

Gladis mengerjapkan matanya. Pandangannya beredar ke sekeliling. Ia memandangi Jeffrey yang tampak tidak nyata di hadapannya.

Jeffrey tersenyum. "Kak Silvi sama Kak Ian pulang."

Gladis menghela napas panjang. Ia menurunkan kakinya yang sedari tadi ia peluk. Tangannya bergerak merapikan rambut panjangnya tak terikat. Gladis masih diam saja.

Jeffrey mengeluarkan tisu dan air mineral yang baru saja dibelinya dari tas plastik. Ia membasahi selembar tisu dengan air. Pria itu menarik lengan Gladis pelan, memintanya untuk duduk menghadap ke arah Jeffrey. Gladis menurut dengan tatapan bertanya.

"Ganti plester dulu," ucap Jeffrey. Ia mengusapkan tisu yang setengah basah diatas plester cokelat yang menempel di pipi Gladis. Tangannya bergerak melepas plester itu dengan cepat. "Nggak sakit, kan?" Gladis menggeleng.

Rahang Jeffrey menegang. Luka Gladis memang tidak terlalu dalam, tidak parah. Kenyataan bahwa gadisnya dibuat celaka oleh orang lain membuat Jeffrey geram. Ia memakaikan plester baru di pipi Gladis.

"Sudah."

"Kamu ngapain ke sini?"

Setelah sekian lama, akhirnya Jeffrey bisa mendengar suara Gladis. Sedihnya, mengapa dari semua pertanyaan, harus hal itu yang terucap? Jeffrey tertohok, merasa kehadirannya tidak diinginkan.

"Aku jagain kamu sama Ayah." Jeffrey menatap wajah lelah Gladis. "Boleh?"

Gladis menarik napas panjang. Ia mengangguk perlahan. Melihat hal itu Jeffrey diam-diam tersenyum. Perlakuan Gladis sudah melunak padanya.

"Aku beli roti. Kamu makan ya," ucap Jeffrey memecah keheningan. "Kamu makin kurus sejak terakhir kali kita ketemu."

"Pertandingan kamu gimana?" tanya Gladis, ia mengabaikan komentar Jeffrey mengenai berat badannya.

"Nggak gimana-gimana," jawab Jeffrey. Ia menyodorkan sebungkus roti, Gladis menerimanya namun tak langsung dimakan.

"Menang?"

"Nggak," jawab Jeffrey. Ia meringis. "Yang penting aku pulang dengan selamat, kan?"

Gladis tersenyum kecil. Ia lalu menunduk dan memainkan bungkus roti di tangannya. "Maaf aku nggak nonton pertandingan kamu."

"Nggak papa. Lagian di pertandingan kemarin aku nggak keren banget. Tinggal lima lap terakhir, mesin motor malah meledak."

"Terus?" Gladis menatap Jeffrey dengan khawatir.

"Ganti motor cadangan, tapi sudah nggak ada harapan untuk naik podium," jawab Jeffrey enteng.

"Kamu luka nggak? Ada luka bakar? Jatuh?"

Jeffrey tertawa kecil. Ia menggeleng. "Meledaknya tuh nggak kayak kompor meledak yang berapi-api. Ini cuma berasap, terus motornya mati. Aku nggak luka sedikit pun kok." Jeffrey mengambil roti dari tangan Gladis dan membuka bungkusnya. "Makan."

Gladis menggigit kecil. Ia mengunyah perlahan. Gadis itu kembali terdiam.

"Sekarang aku yang tanya kamu ya," ucap Jeffrey pelan. Ia masih mengamati Gladis dari samping. "Kabar kamu gimana?"

Gladis tidak menjawab. Tangannya kembali bergerak memasukkan roti ke dalam mulutnya. Ia sibuk mengunyah.

Jeffrey tersenyum tipis. Mungkin Gladis memang belum mau terbuka padanya. Lagi, Jeffrey harus menunggu.

Kurang lebih sepuluh menit mereka hanya duduk bersebelahan tanpa ada kata yang terucap. Gladis telah menghabiskan rotinya. Jeffrey juga sedang sibuk memberi kabar pada Adam. Bisa dibayangkan bagaimana bingungnya si om mendapati kamar hotel sang ponakan sudah kosong di hari keberangkatan mereka kembali ke Italia.

Seorang perawat keluar dari ruang ICCU. Ia memanggil Gladis selaku wali dari sang ayah. Perawat itu menjelaskan pada Gladis bahwa baru saja Ayah mengalami cardiac arrest, namun berhasil diselamatkan dengan penanganan cepat. Penjelasan itu berlanjut pada prognosis keluaran Ayah yang tidak terlalu baik. Gladis diminta masuk ke ICCU untuk langsung menghadap dokter. Setelah selesai, perawat itu kembali masuk ke dalam ruangan.

Bahu Gladis bergetar. Tangannya menutupi wajah. Gadis itu menangis tanpa suara.

Jeffrey mendekati Gladis. Kesedihan gadis itu menular padanya. Jeffrey memeluk Gladis, membiarkan gadis itu bersembunyi dalam dekapannya. Tangan kiri Jeffey bersarang di pinggang Gladis, tangan satunya mengusap kepala Gladis yang menunduk di dadanya.

"Ditunggu dokter di dalam," bisik Jeffrey. "Aku saja yang masuk?"

"Jangan. Keluarga Ayah itu aku," ucap Gladis dengan napas tersengal.

"Kamu bisa sendiri?"

Gladis melepaskan diri dari Jeffrey. Ia mengusap jejak air mata dari pipinya. Gadis itu mengangguk lalu memaksakan seulas senyum.

"Kemungkinan ini sudah pernah aku pikirkan. Aku nggak akan pernah siap kehilangan Ayah, tapi aku tetap harus kuat, kan?"

Tatapan mata Jeffrey begitu susah diartikan. Tangannya bergerak merapikan rambut Gladis.

"Aku tunggu di sini. Kalau kamu nggak bisa hadapin ini sendiri, ada aku."

Carpe DiemWhere stories live. Discover now